Ade Irawan

Anggaran Pendidikan, Alokasi dan Korupsi

VIVAnews - Dalam pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pada tahun anggaran 2009 pemerintah akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jumlahnya dapat mencapai Rp 224 triliun.

Data menunjukan, dari alokasi anggaran pendidikan senilai Rp 224.4 triliun itu, sebesar Rp 8,5 triliun digunakan untuk membayar gaji pendidik di Depdiknas, Departemen Agama dan Dana Alokasi Umum (DAU). Sisanya, sebanyak Rp 134,8 triliun dibagi-bagi yaitu, untuk anggaran pendidikan disemua kementerian dan lembaga Rp 70.5 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan Rp 8,01 triliun, DAU pendidikan non gaji Rp 7,3 triliun, dana otonomi khusus untuk pendidikan Rp 1,8 triliun dan dana bagi hasil (DBH) untuk pendidikan Rp 982,9 miliar.

Dengan demikian, walau ada tambahan anggaran untuk sektor pendidikan, jumlah riil-nya tidak sebesar yang digembar-gemborkan pemerintah. Sebab, dari sisi porsi, sebagian besar alokasi 20 persen berasal dari klaim beberapa kegiatan yang telah dianggarkan sebelumnya, seperti pembayaran gaji pendidik dan kegiatan pendidikan kedinasan di departemen atau beberapa lembaga diluar Depdiknas maupun Depag.

Selain itu, krisis keuangan global memaksa pemerintah memotong aggaran beberapa departemen, tak terkecuali departemen pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran pendidikan kembali turun. Rencana awal yang diturunkan pemerintah sebesar Rp 224 triliun berkurang menjadi Rp 204,4 triliun.

Buruknya Mekanisme Penganggaran
Masalah lain berkaitan dengan proses penganggaran yang tidak adil. Mekanisme pembuatan anggaran pendidikan pada tingkat pusat, dinas dan sekolah tidak partisipatif, tertutup, dan tidak akuntabel. Hal tersebut misalnya tergambar dari fase pembuatan anggaran, mulai dari penentuan kebijakan dan penetapan kesepakatan pusat dan daerah; penjabaran kebijakan program kedalan sasaran dan anggaran; membahas DIK/RP, DIK-S, DIP/LK/PO dan penetapan/pengangkatan bendaharawan rutin dan pemimpin/bendaharawan proyek/bagian proyek; serta pemantauan dan evaluasi yang mengatur tentang pelaporan pertanggungjawaban pengguna anggaran.

Dari empat fase proses penyusunan anggaran pendidikan tidak ada ruang untuk mengakomodir masukan dari warga, temasuk guru. Selain itu, Departemen Pendidikan pun tidak terbuka. Akibatnya, besaran dan alokasi anggaran ditentukan secara sentralistik.

Hal yang sama terjadi pada tingkat dinas dan sekolah. Malah, pada tingkat sekolah pembuatan dan implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) di dominasi oleh kepala sekolah. Ruang bagi stakeholder seperti guru dan orang tua sangat tertutup. APBS dianggap sebagai rahasia negara. Lebih parah lagi, hasil temuan ICW, di beberapa daerah seperti Tanggerang dan Garut, banyak sekolah yang tidak membuat APBS atau dibuatkan oleh dinas pendidikan.

Dampak ketidakadilan dalam proses penyusunan anggaran adalah ketimpangan proporsi alokasi. Pada tingkatan pusat maupun sekolah, anggaran untuk operasional dan program pengembangan serta peningkatan kualitas belajar mengajar sangat timpang. Hasil analisis ICW dan Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran, dalam anggaran pendidikan pada APBN tahun 2007 maupun 2008, alokasi operasional birokrasi di Depdiknas bisa mencapai 30 persen dari total anggaran.

Walau anggaran pendidikan mengalami kenaikan, tapi porsi untuk program yang secara langsung mendukung terbukanya akses dan meningkatnya kualitas, seperti program pendidikan dasar gratis, tidak berubah.  Misalnya, alokasi dana untuk bantuan operasional sekolah. Tambahan dana yang disediakan pemerintah jauh lebiih kecil dibanding kebutuhan untuk membuka akses dan menyediakan pendidikan berkualitas bagi warga.

Dari sisi kebijakan, pada tingkat pusat, tidak ada aturan mengenai penyusunan APBS. Karena itu sekolah tidak memiliki patokan mengenai mekanisme pembuatan, alur waktu, serta proporsi alokasi. Padahal sekolah merupakan muara dari segala anggaran, pusat, daerah, orang tua, maupun masyarakat.

Selain itu, tidak ada sinkronisasi program dan anggaran pendidikan antara APBN, APBD, dan APBS. Logika penyusunan program dan anggaran antara Depdiknas, dinas pendidikan, dan sekolah tidak saling mendukung. Padahal pada dasarnya ketiga institusi tersebut memiliki tujuan yang ingin dicapai bersama.

Hal tersebut tergambar ketika pemerintah pusat menggulirkan program Bantuan Operasional Sekolah untuk merealisasikan pendidikan dasar gratis. Sikap pemerintah daerah malah menghambat dengan menghentikan segala jenis bantuan anggaran bagi sekolah, seperti yang terjadi di Garut.

Proses penganggaran pun mengabaikan semangat otonomi sekolah yang didorong pemerintah melalui kebijakan. Logika yang mesti digunakan, proses penyusunan anggaran pusat mesti didasarkan pada pengajuan program dan anggaran dari sekolah dan daerah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, anggaran disusun secara top down, sehingga sacara tidak langsung pemerintah menjadi penentu kegiatan-kegiatan yang akan dijalankan oleh sekolah.

Korupsi Anggaran Pendidikan

Masalah yang juga mempengaruhi pendidikan nasional adalah korupsi. Praktek tersebut terjadi di semua tingkatan penyelenggara, mulai dari Depdiknas, dinas pendidikan, hingga sekolah. Akibatnya, anggaran pendidikan yang kecil, ternyata tidak digunakan secara maksimal untuk kepentingan keterbukaan akses dan peningkatan kualitas pelayanan.

Praktek korupsi pendidikan tidak hanya terjadi sewaktu program kerja dilaksanakan, namun mulai dari program kerja disusun. Pelakunya pun tidak sendiri, tapi melibatkan banyak orang. Sebagai contoh kasus pengadaan buku pelajaran di beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran yang lumayan besar bagi sektor pendidikan. Namun, penggunaannya lebih banyak untuk proyek-proyek pembangunan atau pengadaan seperti buku pelajaran.

Dalam proses pengadaan kepada daerah atas pengesahan DPRD menerbitkan surat keputusan (SK) yang memungkinkan hanya satu penerbit yang bisa mendapat proyek. Tentunya ada 'biaya' yang harus dibayar penerbit agar SK bisa keluar. Kemudian segala macam biaya untuk mendapatkan tender oleh penerbit akan dikompensasikan dalam biaya produksi. Tidak mengherankan jika kemudian buku yang dihasilkan harganya mahal dan mutu yang dihasilkan buruk.

Korupsi di sektor pendidikan disebabkan lemahnya aktor-aktor seperti guru, orang tua, masyarakat, termasuk didalamnya komite sekolah. Mereka tidak diberi ruang untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan termasuk penganggaran. Selain itu, buruknya sosialisasi dan ketentuan dalam implementasi kebijakan, membuat mereka tidak mampu melakukan pemantauan.

Klimaks dari drama mengenai kontroversi mengenai anggaran pendidikan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Pemenuhan alokasi minimal 20 persen dari total APBN belum di pandang sebagai usaha strategis untuk mengembangkan sumber daya manusia. Tapi sebaliknya hanya sebagai 'gugur kewajiban' agar pemerintah dianggap berhasil memenuhi amanat konstitusi.

Politik penganggaran pendidikan tidak ditujukan untuk mendorong kesejahteraan warga negara, tapi menjadi alat politik untuk meningkatkan citra sekaligus melanggengkan kekuasaan. Dalam logika seperti itu, tidak penting bagi pemerintah untuk memastikan apakah alokasi anggaran dapat memenuhi kebutuhan membuka akses dan menyediakan pendidikan berkualitas atau memperbaiki mekanisme penganggaran serta praktek korupsi yang berjamaah bisa diminimalisir.

Komitmen minim pemerintah dalam pendidikan tidak hanya akan merugikan warga, tapi dalam jangka panjang juga akan merugikan negara. Indonesia mulai kehabisan sumber daya alam, karena itu sudah saatnya pemerintah melakukan investasi besar-besaran dalam mengembangkan sumber daya manusia. Tanpa itu, Indonesia akan semakin tertinggal oleh negara lain.

Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Sekretaris Koalisi Pendidikan.

RS Polri: Seluruh Jasad Korban Kebakaran Toko Frame Mampang Sudah Teridentifikasi
Ilustrasi tenggelam

Ogah Pakai Pelampung, Bocah 6 Tahun di Cikarang Tewas Tenggelam di Kolam Renang

Seorang bocah perempuan berinisial S berusia enam tahun tewas tenggelam ketika berenang di kolam renang yang berlokasi di kawasan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024