Wawancara Khusus Kahlil Rowter

Ekonomi Tak Seburuk yang Diduga

VIVAnews – Hingga enam bulan sejak krisis keuangan global berlangsung, belum ada juga tanda tanda yang jelas sampai sedalam apa dampaknya terhadap perekonomian  Indonesia.

Meiska Angkat Fenomena Istilah Badut dalam Lagu Terbarunya

Beberapa perusahaan memang sudah mengumumkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja, namun belum ada data yang detail jelas mengenai kondisi keuangan perusahaan perusahaan tersebut.  Untuk mengetahui seberapa besar dampak krisis global terhadap perusahaan-perusaahaan di Indonesia, VIVAnews mewawancarai Kahlil Rowter, Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Berikut petikannya:

Bisa Anda update situasi krisis saat ini?
Hingga kini belum ada tanda tanda yang jelas pemulihan ekonomi di Amerika Serikat. Kredit macet di sektor properti  (subprime morgtgage) yang menjadi biang keladi krisis, kini malah sudah merembet kemana-mana, ke kredit konsumsi.

Nah..karena globalnya masih gloomy, Amerika kena, terus Eropa dan Asia juga kena, artinya permintaan untuk ekspor Indonesia maupun harga produk komoditas ekpor belum akan pulih segera.

Verrell Bramasta Berharap Prabowo-Gibran Lebih Fokus Pada Kemajuan Anak Muda

Semula kami memperkirakan dampaknya tidak akan begitu besar karena mayoritas ekspor Indonesia adalah komoditas yang low income intensity. Artinya, biar resesi bagaimanapun orang India misalnya, tetap mengggoreng martabak, sehingga kebutuhan akan minyak goreng relatif tidak banyak berubah. Ternyata dampaknya lumayan besar juga.

Hal yang sama juga terjadi untuk barang barang manufaktur. Memang sektor ini bukan bagian terbesar diperekonomian kita, tapi yang bekerja disitu ada sekitar 2 juta. Sepertiga diantaranya kemungkinan akan mengalami PHK.  Mengapa demikian?  Karena ekspor kita naiknya cepat sekali,  turunnya juga akan dalam sekali.

Seberapa besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi?
Dampaknya bisa kita kelompokkan pada tiga channel. Pertama,  sektor perdagangan. Penurunan pada sektor ini  berdampak sekitar 1-2 persen. Sehingga kemungkinan besar tahun ini pertumbuhan bisa turun dari 6 persen manjadi sekitar 4-5 persen.

Kedua,  financial channel.  Pada saat pasar modal booming,  kontribusinya secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi sangat minim. Nah sekarang waktu bursa saham crash maka dampak ekonominya juga  tidak banyak.

Terpopuler: Beda Sikap Ria Ricis-Teuku Ryan Perlakukan Orang Tua, Mooryati Soedibyo Meninggal Dunia

Tapi memang, meski dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan, dampak terhadap sentimen sangat besar.  Misalnya, perusahaan perusahaan sudah menulai menekan capital expenditure (belanja modal).  Pada saat yang bersamaan  perbankan mulai mengurangi penyaluran kredit. Nah… ini yang paling mengkhawatirkan.

Di Amerika salah satu penyumbang resesi terbesar adalah pelambatan pada laju penyaluran pinjaman. Di Indonesia, kalau katakanlah laju pinjaman turun ke single digit (di bawah 10 persen), maka dampaknya akan sangat signifikan terhadap pertumbuhan.

Kalau tadi pertumbuhan berisiko turun 2 persen karena permasalahan di trade channel, maka penurunan pinjaman dari perbankan bisa mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terkoreksi sekitar 1 persen lagi.  Ini sebenarnya masalah besar yang belum banyak dibicarakan.

Upaya bank sentral menurunkan suku bunga cukup menolong?
Bank Indonesia memang sudah mencoba menurunkan suku bunga.  Dalam situasi normal upaya ini cukup banyak menolong.  Tapi dalam situasi sentimen yang sangat buruk seperti sekarang ini, rumus itu tidak bekerja.

Jadi meskipun suku bunga turun, masyarakat tetap enggan mengambil kredit karena merasa faktor ketidakpastian masih sangat besar. Jadi efektifitas penurunan suku bunga untuk mengatasi resesi ini minim. 

Buktinya, di Amerika biar pun bunga sudah turun hampir nol persen, tetap saja orang nggak ambil kredit dan spending (membelanjakan uangnya). Hal yang sama juga terjadi di Jepang. Kegiatan konsumsi dan spekulatif akhirnya anjlok drastis dan akibatnya ekonomi melambat  dengan sendirinya.

Maksud Anda otoritas moneter salah menerapkan kebijakan?
Memang tidak gampang. Keadaan di Indonesia beda dengan di Amerika atau di Eropa. Di dua kawasan tersebut perbankan enggan menyalurkan kredit karena masalah solvency, karena ada aset busuk di neracanya.  Di Indonesia lain. Di sini murni karena ketakutan saja.

Jadi sebagai sebuah sistem, likuiditas di sektor perbankan relatif tidak ada masalah yang berarti. Likuiditas not an issue, apalagi untuk bank bank besar. Kekuatiran mereka sebenarnya  adalah memburuknya tingkat NPL (non performing loan / kredit bermasalah)

Kalau ini yang ditakutkan,…jelas lah. Pertama, nasabah seperti perusahaan ekportir, pasti akan berkurang kemampuan membayar utangnya karena penurunan harga maupun permintaan di negara importir.

Kedua, secara keseluruhan ekonomi memang sedang menurun dan pasti NPL akan naik.  Tapi saya sudah tanya-tanya ke beberapa bank besar mereka bilang memang ada peningkatan NPL, namun jumlahnya tidak besar. Misalnya, dari 2-3 persen menjadi 3,5 persen.
Jadi sebenarnya kenaikan NPL itu  aktual relatifnya tidak ada. Artinya,  ini lebih kepada ketakutan dari para bankir itu sendiri. Mengapa saya berani katakan itu.  Ini bukan berarti saya yakin tidak ada perusahaan yang akan bangkrut, tidak begitu.

Saya yakin karena.  Pertama,  leverage (rasio utang) perusahaan perusahaan di Indonesia saat ini relatif sangat kecil. Jauh dibandingkan pada era sebelum krisis moneter 1998. Kedua, mayoritas debitor  di perbankan Indonesia saat ini rata-rata perusahaan-perusahaan unggulan di bidangnya. Mereka, misalnya, Indofood, Telkom, yang merupakan pemimpin pasar, pricing leader,  semua kustomer ke dia.  Nah ini sebenarnya ketakutan perbankan terhadap NPL saja sih.

Jadi perlu semacam insentif agar para bankir berani menyalurkan kredit?
Ya. Program semacam Kredit Usaha Rakyat harus terus ditingkatkan. Dalam program ini pemerintah menjamin kredit yang disalurkan bank kepada pengusaha kecil. Jadi selain jumlahnya, yang saat ini mencapai Rp 15 triliun, perlu diperluas.

Kredit motor misalnya. Banyak bank takut padahal kredit macetnya, secara tradisional, relatif kecil. Selain itu kalaupun toh  macet, jaminannya sudah ada, motor itu sendiri, sehingga bank tidak terlalu rugi. Sementara rumah atau tanah susah. Kalau saya usul sih ditambah. Kalau perlu ada lembaga yang menjamin kredit konstruksi.

Sejauh ini bagaimana dengan kemampuan perusahaan perusahaan membayar utang?
Kami sebagai perusahaan pemeringkat memang selalu memonitor kemampuan membayar perusahaan perusahaan yang menerbitkan obligasi atau surat utangnya.

Untuk masalah krisis, kami melihatnya dimulai bulan September 2008. Kami telah melakukan semacam review terhadap issuer  (perusahaan penerbit  surat utang).

Pertama, dari issuer  sektor pasar modal.  Hasilnya ada beberapa memang yang kami review. PT BNI Securities misalnya, kami downgrade (turunkan) peringkatnya.

Sebelum krisis, kinerja perusahaan itu memang sudah menurun, ditambah lagi masalah reverse repo.  Berikutnya adalah PT Trimegah Securities. Perusahaan ini aman karena enggak ada reverse repo, dan bisnis retailnya juga oke. Yang terakhir adalah PT Danareksa. Statusnya kami jadikan credit watch karena ada reverse repo sekitar Rp 800 miliar yang bermasalah. Tapi kami dengar mereka sekarang sudah mulai mampu menyelesaikannya.

Kedua, dari sektor pebankan. Ternyata dari  belasan bank klien kami kondisinya tidak ada yang mengkhawatirkan. Tidak ada yang turun, bahkan outlook kami untuk periode enam bulan ke depan tidak ada masalah.

Rating perbankan  tidak ada yang berubah ? Ini bukan karena Pefindo terlalu bullish?
Begini rating ini mencerminkan kemampuan perusahaan membayar utang, jadi walaupun  pendapatan turun belum tentu kemampuan membayar utangnya menurun. Atau sebaliknya, tidak otomatis perusahaan yang untung besar sekali kemampuan membayar utangnya juga bagus sekali, karena ternyata leverage-nya gede sekali. Sedangkan untuk issuer dari sektor manufaktur dan lain lain boleh dikatakan no impact.

Cuma yang mesti dicatat, klien kami saat ini hanya sekitar  120 perusahaan dengan total nilai utang sekitar Rp 80 triliun. Sementara total kredit perbankan mencapai sekitar Rp 1.400 triliun.  Maksud saya, kemampuan Pefindo memotret situasi ini jangan di-overstate , karena klien kami cuma sejumlah itu.

Tapi memang, 120  perusahaan itu top dibidangnya. Misalnya untuk perbankan,  klien kami total menguasai 80 persen pangsa pasar.

Jadi secara umum boleh dikatakan tidak ada persoalan di perusahaan -perusahaan tersebut?
Sejauh ini kami belum melihat yang terlalu  mengkhawatirkan.  Secara umum tidak ada penurunan yang mendasar.

Sekali lagi memang harus dicatat. Pertama, jumlah perusahaan yang ada di kami hanya 120. Kedua, kebanyakan merupakan leader di sektornya. Selain itu, atau di bawah itu, kami tidak mengetahui kondisi perusahaan secara persis. Ketiga, perusahaan-perusahaan tersebut mayoritas utangnya tetap ke perbankan.

Bukankah ketika me-review, Pefindo juga mengkaji kelancaran pembayaran utang perusahaan-perusahaan tersebut ke perbankan?

Itu benar. Pada saat melakukan rating atau me-review kami juga melihat kemampuan perusahaan tersebut ke perbankan. Kalau kewajiban mereka terhadap pemegang obligasi lancar, maka ke bank juga lancar.

Waktu itu kami memang  melihat tidak ada yang mengkhawatirkan, karena kami melihatnya secara keseluruhan, tidak hanya obligasinya saja.

Jadi dari sisi monitoring Pefindo, memang  tidak ada tanda-tanda yang mencemaskan.

Artinya boleh disimpulkan kemampuan membayar utang mayoritas perusahaan-perusahaan di Indonesia cukup baik?
Tanda-tanda itu memang tidak eksak betul. Yang saya bisa katakan secara umum credit borrower di Indonesia membaik.

Bahkan perusahaan yang kami duga kolaps, seperti PTP (perusahaan perkebunan negara), ternyata hingga kini baik-baik saja. Penyebabnya, pada saat harga CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit) gila-gilaan, di atas US$ 1.200 per ton, mereka tidak ekspansi besar-besaran atau menambah utang.

Sehingga ketika harga CPO anjlok pada kisaran US$ 300- US$ 400 per ton yang terjadi sebenarnya kondisi mereka kembali ke posisi awal saja. Jadi sebetulnya mereka tidak rugi, untungnya saja berkurang. Artinya boleh dikatakan keadaan saat ini bukan kiamat. Keadaan tidak seburuk yang kita duga.

Saat ini bagaimana minat perusahaan-perusahaan untuk menerbitkan obligasi?
Begini, ada dua hal yang harus kita lihat. Pertama, inflasi turun dan suku bunga juga turun. Kedua, kredit dari perbankan juga melambat. Ini menyebabkan perusahaan-perusahaan kesulitan untuk refinance ke bank. Pilihannya ya mereka pasti akan menerbitkan obligasi.

Dan sejauh ini minat untuk menerbitkan oligasi memang membludak. Dalam beberapa bulan terakhir ini kami sudah menerima permintaan beberapa perusahaan yang akan menerbitkan obligasi senilai total Rp 10 triliun.  Jumlah ini saya rasa cukup besar mengingat sepanjang tahun lalu hanya Rp 10 triliun.

Dalam situasi krisis seperti ini minat investor membeli obligasi cukup tinggi?
Siapakah sebenarnya para pembeli obligasi?  Kebanyakan adalah perusahaan asuransi dan dana pensiun. Tahun lalu mereka memang rugi banyak karena terjadi penurunan harga saham maupun surat-surat utang yang cukup tajam. 

Cuma, mereka harus tetap berinvestasi. Nah pilihan yang tersedia kan terbatas, deposito, saham dan obligasi. Fakta menunjukkan penurunan harga obligasi tahun lalu tidak sedalam yang terjadi pada saham.  Maka kalau minat investor terhadap obligasi saat ini sangat tinggi itu hal yang sangat wajar.

Apalagi pada saat yang bersamaan perbankan juga menghadapi kelebihan likuiditas dan takut lending (menyalurkan pinjaman) sehingga pilihannya ya..mereka hanya beli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau obligasi. Lihat saja dampaknya, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara… habis, Obligasi Sukuk juga langsung ludes.

Surprisingly  meski keadaan global berat, domestik ternyata oke-oke saja. Aliran modal di sistem finansial internasional memang boleh dikatakan berhenti,  tetapi domestic flow ternyata tetap  ada.

Yang jelas jika dibandingkan dengan Singapura kita jauh lebih baik, pertumbuhan mereka sudah pada tahap minus, sementara kita tetap positif hanya turun saja sedikit. Karena ekspor Singapura 100 persen dari Produk Domestik Bruto, jadi kalau terjadi resesi global seperti ini mereka akan sangat terpukul. Beda dengan Indonesia yang hanya sekitar 20 persen dari PDB.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya