Rapimnasus Golkar

Golkar Mau ke Mana

VIVAnews– “MENJADI pemerintah dan oposisi itu sama terhormatnya,” begitu Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla berpidato saat membuka Rapat Pimpinan Nasional Khusus di Jakarta Partai Golkar, Kamis, 23 April 2009. Tepuk tangan dari para pemimpin Partai Beringin riuh menyambut. Hari itu juga, dalam sebuah persidangan yang berlangsung cepat, forum menetapkan Kalla menjadi calon presiden tunggal dari Partai Golkar.

Setelah sekian lama berlangsung tarik-ulur, resmi sudah Golkar berpisah koalisi dengan Demokrat untuk pemilu presiden-wakil presiden mendatang. Pasti sudah duet SBY-JK tak akan berlanjut di periode berikutnya.

Perceraian politik ini bak diresmikan keesokan harinya saat Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Kalla bersama-sama memimpin rapat koordinasi pemilu di Gedung Sekretariat Negara. Rapat dimulai dengan tepuk tangan para gubernur yang hadir saat menyambut kedua pemimpin negara itu masuk ruangan. Membuka pertemuan, Presiden menjelaskan telah mengadakan pembicaraan khusus dengan wakilnya di ruang sebelah. “Ada kalanya kami bersama-sama, tapi ada kalanya kami melakukan kompetisi,” Presiden mengatakan.



Keputusan drastis Golkar itu sejatinya disokong suara tak bulat. Sejumlah pemimpin Golkar tak rela Beringin buru-buru bersiap menjadi oposisi. Mereka maklum, melihat hasil berbagai survei, kans SBY-JK untuk memenangkan pemilu presiden mendatang terbuka lebar. Dan jika JK maju sendiri, peluangnya untuk menang teramat tipis.

Menurut survei terakhir, sementara ini dukungan suara untuk JK di pentas pemilu presiden tak beranjak dari papan bawah. Hasil exit poll Lembaga Survei Indonesia di hari pencontrengan Pemilu Legislatif pada 9 April kemarin, dari 27 nama yang disodorkan kepada pemilih, nama Kalla hanya akan dicentang 4 persen pemilih. Ia berada di urutan keempat setelah SBY (49,6 persen), Megawati (14,1 persen), dan Prabowo Subianto (5,6 persen). “Tanpa Yudhoyono, peluang Kalla sangat kecil," kata pengamat politik Andrinof Chaniago.

Karena itu lah, Gubernur dan Ketua Golkar Gorontalo Fadel Muhammad menyatakan lebih suka Golkar berkoalisi dengan Demokrat. Apa pun bentuknya.

PAN Siapkan Bima Arya dan Desy Ratnasari untuk Pilgub Jabar

Namun suara seperti Fadel sedikit jumlahnya. Dia hanya mendapat dukungan dari sejumlah pengurus Golkar Kalimantan. Suara serupa di level pimpinan pusat juga tak bergema. Wakil Ketua Umum Agung Laksono dan salah satu Ketua DPP, Muladi, juga kalah suara.

Ketimbang memilih opsi yang rasional secara politik, rupanya mayoritas petinggi Golkar memilih maju tak gentar untuk mencalonkan presiden sendiri. Tekad ini kuat disuarakan para pengurus Golkar Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, sebagian Kalimantan, dan sejumlah besar pengurus DPP. “Soal kalah atau menang, kita lihat nanti,” kata Said Fuad Zakaria, Ketua Golkar Aceh.

Ketua Dewan Pembina Golkar Surya Paloh mengatakan hasil rapat pimpinan khusus itu merupakan bentuk integritas Golkar. "Yang penting Golkar kembali pada identitasnya sebagai partai besar," katanya. Surya memang sedari awal menginginkan Golkar mengajukan calon presiden sendiri.  
 
Muladi tak sependapat. Menurutnya keputusan ini tidak didasarkan pada logika yang dingin. “Dipenuhi emosi. Harga diri partai sangat menonjol di sini,” ia mengeluh, "Tekadnya sudah begitu, mau bagaimana lagi?”



Perpisahan Golkar–Demokrat bukan tanpa sebab. Retak sudah mulai terjadi  saat pemilihan umum 2009 bergulir. Demokrat yang sedari awal mencalonkan kembali Yudhoyono sebagai presiden, terus menggantung sikap tentang nasib Golkar dan Jusuf Kalla. “Demokrat memutuskannya setelah hasil pemilu legislatif,” kata Anas Urbaningrum, Ketua DPP Partai Demokrat.

Situasi menjadi semakin parah garah-gara muncul “insiden 2,5 persen.” Ketika itu, Ketua Demokrat yang lain, Achmad Mubarok, terpeleset lidah di hadapan pers dengan mengandaikan perolehan suara Golkar di Pemilu Legislatif hanya akan meraup sekitar 2,5 persen.

Harga diri para pemimpin Beringin terkoyak. Para pengurus daerah Golkar tak kuat lagi menahan diri. Bak air bah, mereka lalu mendesak Kalla maju sebagai calon presiden. Di ambang perpecahan internal dan ancaman sebagian pengurus akan mengusung calon presiden lain, pertahanan Kalla pun ambrol. “Saya siap,” ia menegaskan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, pada 20 Februari 2009.

Namun, setelah Pemilu Legislatif usai, Golkar limbung. Mengacu pada hasil perhitungan-cepat dan tabulasi sementara Komisi Pemilihan Umum, suara Golkar tampaknya ambrol ke angka 14-15 persen. Desakan untuk merapat lagi ke Demokrat pun kembali deras. Sejumlah petinggi Golkar yang semula berkeras ingin Kalla maju sebagai calon presiden mulai berpikir ulang. “Dengan kenyataan seperti ini, koalisi Golkar-Demokrat lebih tepat,” kata Ketua Partai Golkar, Theo L. Sambuaga.

Tapi malang tak dapat ditolak. Batu sandungan berikut datang menghadang: soal calon wakil presiden dari Golkar yang bisa diterima SBY.

Di saat koalisi Demokrat-Golkar mulai coba dianyam, status JK sebagai calon wakil presiden SBY terus menggantung tak jelas. “Ada pak JK, ada selain pak JK,” kata Yudhoyono.

Sudah begitu, setelah sekian lama tak pernah bertemu muka sejak JK menyatakan kesiapannya untuk maju sebagai calon presiden, kedua tokoh ini telah dua kali bertemu. Namun, tak ada kesepakatan apa pun yang dihasilkan. Bahkan, seperti hendak membantah kabar yang berembus usai pertemuan mereka di Cikeas, bahwa SBY akan kembali berduet dengan JK, keesokan harinya kepada wartawan Presiden mengatakan bahwa dalam pertemuan itu “tak ada yang istimewa.”

Alih-alih tegas memilih JK, Yudhoyono belakangan malah melansir lima kriteria calon pendampingnya. Prasyarat itu adalah berintegritas, punya kapasitas, loyal, diterima masyarakat, dan bisa mengokohkan koalisi. Banyak pihak melihat kriteria loyal merupakan lampu merah untuk JK.

Lobi antara kedua partai pun membentur tembok. Di Partai Demokrat ada Tim Sembilan yang diketuai Hadi Utomo, Ketua Umum Partai Demokrat. Adapun Golkar membentuk sebuah tim yang terdiri dari Sekretaris Jenderal Golkar Sumarsono dan dua ketua, Muladi dan Andi Matalatta.

Selama delapan hari, 14 – 21 April 2009, kedua tim intensif bertemu. Hasilnya buntu. Sebagaimana diumumkan Sumarsono, Demokrat menolak keinginan Golkar yang hendak mengajukan satu calon wakil presiden bagi SBY, yaitu Jusuf Kalla. “Demokrat selalu minta lebih dari satu nama,” kata Soemarsono.

JK ditolak SBY? Ketua DPP Golkar Burhanuddin Napitupulu melihatnya begitu. “Mereka kan sudah bersama-sama, kenapa malah bikin kriteria yang lalu dilempar ke publik?” Burnap mempertanyakan.



Duet SBY-JK berakhir sudah.

Sementara Blok Cikeas makin mengkristal—terdiri dari Demokrat, PKS, PKB, dan PPP—pilihan buat Golkar kini ada dua: bergabung dengan Poros Teuku Umar atau membentuk blok politik sendiri.

Sejauh ini, koalisi PDIP-Golkar menuju pemilu presiden 2009 masih sulit digambarkan. Sementara Mega kukuh akan menjadi calon presiden PDIP, nyaris tak terbayangkan JK bakal bersedia menjadi wakil Mega.

Pertemuan Mega-JK pada Jumat malam, 24 April 2009, pun nyaris berlangsung “dingin” meski dibumbui kesepakatan untuk membentuk tim kecil untuk menjajaki kemungkinan koalisi. Kepada wartawan, Mega bahkan menyuarakan posisi PDIP saat ini yang berseberangan dengan Golkar. “Kita harus membuat rincian bersama karena sebagaimana Saudara ketahui kami ini berada dalam posisi oposisi dan Golkar pada pemerintahan."

Sementara itu, hubungan PDIP dengan Partai Gerindra dan Partai Hanura tampak semakin mesra saja. Dalam Rapat Kerja Nasional PDIP di Kantor DPP PDIP di Lenteng Agung, Jakarta, Sabtu 25 April 2009, Ketua Umum Hanura Wiranto dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto hadir sebagai tamu kehormatan. Kedua jenderal itu, kata Megawati, sengaja diundang “sebagai sinyal untuk lebih kongkrit bekerja sama sebagai teman."  
 
Hingga berita ini diturunkan, selain dengan Mega, JK telah bertemu Wiranto pada Jumat, 24 April. Hasilnya, “Kami sepakat membangun koalisi untuk membangun pemerintahan yang lebih kuat dan efektif."

Perkembangannya masih harus ditunggu. Yang terang, pada pekan-pekan ini para petinggi Golkar akan super sibuk menoleh ke kanan ke kiri, untuk mencari sekutu politik yang baru.

Pengakuan Jujur Pelatih Korea Selatan U-23 Jelang Hadapi Timnas Indonesia U-23
Keluarga Umi Pipik dan Irish Bella

Abidzar Al Ghifari dan Irish Bella Mendadak Dijodohkan, Ini Respons Umi Pipik

Meskipun terpaut usia 5 tahun, banyak yang menyatakan bahwa Abidzar Al Ghifari dan Irish Bella cocok bersama.

img_title
VIVA.co.id
23 April 2024