Bursa Wall Street Kembali Panik

VIVAnews – Kabar akan adanya dana darurat US$700 miliar yang tengah disiapkan pemerintah Amerika Serikat (AS) ternyata belum mampu mendatangkan kepercayaan para pelaku bursa saham di Wall Street, New York. Buktinya, indeks harga saham industri Dow Jones lagi-lagi anjlok, kali ini mencapai 372 poin, pada penutupan perdagangan awal pekan, Senin sore 22 September 2008 waktu setempat (Selasa pagi WIB).

Pasalnya, para investor dan pengamat di lantai bursa masih belum yakin akan rencana pemerintah dalam menyelamatkan banyak perusahaan keuangan dari ambang kebangkrutan. Dana US$700 miliar yang digagas Departemen Keuangan Sabtu pekan lalu justru dinilai berlebihan dan bisa memancing inflasi. Apalagi pengucuran dana tersebut masih harus menunggu persetujuan Kongres.

“Saat mereka [pemerintah] mencetak uang US$1 triliun, maka akan membunuh nilai tukar dolar. Harga minyak pun akan naik dan pada akhirnya tidak akan membantu situasi di bursa saham,” kata Gary Kaltbaum, yang menjalankan bisnis manajemen keuangan di firma Kaltbaum and Associates di Orlando, Florida. Menurut Kaltbaum situasi tersebut layaknya lingkaran setan. “Kini kini tengah menyaksikannya,” lanjut Kaltbaum.

Selain itu anggaran publik super-besar yang dipertaruhkan Washington malah dinilai akan memperparah defisit dan memperburuk resesi ekonomi di AS. Apalagi, hingga Senin sore waktu New York kalangan pelaku bursa di Wall Street masih belum diberi kejelasan apakah Washington segera mengucurkan dana besar-besaran untuk mengatasi kredit macet dan bagaimana mekanisme tersebut berjalan. Kalangan di bursa pun belum tahu siapa yang berwenang menjalankan misi penyelamatan tersebut dan apakah masih menunggu persetujuan di Kongres yang dikuasai oleh Partai Demokrat yang beroposisi.

Itulah sebabnya kalangan investor global memilih menjual dolar mereka karena dihinggapi kekhawatiran bahwa rencana Washington yang kurang jelas tersebut akan mendongkrak defisit dan memperparah inflasi. Tahun lalu saja, inflasi di AS mencapai 5,4 persen.
 “Investor punya waktu sepanjang akhir pekan untuk mempelajari kabar rencana dari pemerintah. Sekarang mereka menemukan kelemahannya,” kata Joseph Battipaglia, pengamat dari firma investasi Stifel Nicholaus. 

Anjloknya harga saham diikuti oleh meroketnya harga minyak mentah. Bahkan harga minyak mentah awal pekan ini di New York Mercantile Exchange naik gila-gilaan, yaitu lebih dari US$25 dari tingkat akhir pekan lalu sebelum ditutup dengan harga US$120,92/barel. 

Selain itu harga kontrak berjangka bahan bakar minyak untuk bulan November di bursa komoditas juga naik drastis, yaitu US$6,62 menjadi US$109.37/barel. Badan pemerintah yang berwenang dalam mengatur bursa komoditas mengatakan telah bekerjasama dengan bursa New York  Mercantile Exchange untuk menjamin “tidak ada pihak yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan di tengah kesulitan yang melanda bursa keuangan untuk meraih keuntungan yang manipulatif.” (ap)

Government to Form Special Task Force for Handling Online Gambling
Aksi Anti Nuklir Greenpeace

Deretan Negara yang Miliki Pesawat Canggih Anti-Nuklir di Dunia

Secara umum, pesawat digunakan sebagai sarana transportasi penumpang untuk keperluan komersial, namun beberapa juga dimanfaatkan sebagai perlindungan dai serangan nuklir.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024