Jejaring Sosial

Neraka Facebook

Logo di kantor Facebook
Sumber :
  • izismile.com

Orang lain adalah neraka, ujar Jean-Paul Sartre suatu ketika. Namun, neraka dengan syarat: Bahwa suatu hubungan yang dirajut kemudian dipiuh sedemikian rupa, dimanipulasi segala aspeknya.

Netizen Murka Disebut Suara Paslon 02 Nol: Mungkin Aku yang Dimaksud Angin Tak ber-KTP

Si pemikir perokok itu mungkin saja benar. Siapa pula yang akan tahan jika suatu hubungan selalu dilabeli dengan 'harga' tertentu, bahkan di zaman peka teknologi seperti kini. Dan Facebook pun tak bisa lepas diri. 

Situs jejaring sosial ini ditemukan oleh Mark Zuckerberg, si kriwil kreatif yang memilih berhenti kuliah dari Universitas Harvard. Ia berhasil mengubah Facebook dari sekadar situs jejaring sosial kelas dua menjadi sebuah platform yang mampu mengorganisir Internet. Namanya bahkan nyaris disejajarkan dengan para visioner lain seperti Steve Jobs, pendiri Apple, dan Bill Gates, perintis Microsoft. Bahkan, transformasi ini dikomentari oleh Marc Andreessen, pendiri Netscape sekaligus anggota dewan direksi Facebook, sebagai “salah satu tonggak terpenting dalam industri teknologi dekade ini.” 

Tak sedikit yang menyangkal berkah dari diciptakannya Facebook. Fasilitas tersebut telah membuat apa yang sangat sulit terjadi di dunia nyata menjadi mungkin di jagat Internet. Kerinduan yang amat akan pertemuan dengan sobat-sobat lama yang guyub semasa sekolah dapat tertunaikan, meskipun hanya lewat monitor notebook atau komputer rumahan. Seperti yang terjadi dengan Mark Jackson dan Marlee Wallingford. 

Keduanya merupakan teman sekolah dasar di Lakeville, Connecticut. Amerika Serikat. Jackson, pengagum rahasia Wallingford ketika ia masih kelas lima, mengirimkan pesan kepada Wallingford melalui Facebook: “Kamu bersekolah di Salisbury Central School tahun 1968?” Jackson masih berada di kelas tiga, ketika itu. Menurutnya, Wallingford termasuk dalam deretan gadis cantik yang selalu dibicarakan oleh para bocah laki-laki di sekolah itu. “Dengan Facebook, hal-hal semacam itu menjadi mungkin, sesuatu yang mustahil terjadi tanpa bantuan teknologi,” akunya. 

Namun, pendapat Scott Brown, seorang blogger yang menulis di situs wired.com, mungkin patut juga dipertimbangkan. 

Brown menukas bahwa keberadaan sarana jejaring sosial seperti Facebook memang dapat membuat orang untuk bisa memelihara pertemanan. Selalu ada kejutan yang menunggu di bilik pesan: siapa lagi yang akan muncul detik ini? Tapi, ia juga mengungkai bahwa fasilitas tersebut juga membikin orang jadi kehilangan hak untuk kehilangan kontak dengan orang lain. 

Alasan yang ia tawarkan cukup masuk akal. Pertemanan, menurutnya, mengutip pikiran penulis Amerika Serikat Ralph Waldo Emerson, secara alami dapat musnah. Ketika masih bersekolah, sebut saja itu Sekolah Dasar, SMP atau SMA, salah satu di antara kita agaknya pernah menulis dengan gagah di buku harian teman kita “Friends Forever,” dengan kukuh pada gagasan ideal yang sentimental akan pertemanan abadi. Namun, ada pula yang mungkin mengakui dalam hati, entah dengan kecut atau lega, bahwa beberapa hubungan memang harus berakhir. Bahwa mungkin kita akan berpisah jarak dengannya. Itu adalah hal alami yang dunia sajikan kepada manusia agar ia dapat selalu berubah, beradaptasi ataupun berevolusi. Brown menyebutnya sebagai cara manusia membebaskan diri dari kelelahan menjaga hubungan dengan banyak teman.

Kadang, hal lain yang akan muncul juga adalah semakin banyak teman yang seseorang miliki, mereka akan semakin kurang berharga. Nilai mereka sebagai manusia condong menurun. Mereka jadi semata 'koleksi,' seperti yang kita lihat di bilik “Friends” pada Facebook. Hal ini mengingatkan saya akan baris-baris sajak Abdul Hadi W.M: “...kata-kata adalah jembatan/namun yang mempertemukan adalah kalbu yang saling memandang” Demikianlah, ketika semakin jauh jarak menuju keintiman, hubungan jadi terasa pura-pura.  

Semacam kepura-kepuraan ini dialami oleh beberapa teman saya. Salah seorang teman mengeluh bahwa ia harus menerima “undangan” dari seorang perempuan, mantan kekasih pada masa kuliah, untuk menjadi “Friends” di Facebook-nya. Kawan saya itu berkata bahwa ia masih menyimpan alamat surat elektronik dan nomor ponsel si mantan pacar, namun mereka tak lagi saling komunikasi. Alasan menerima “undangan” hanyalah karena ia ingin menambah jumlah nama di bilik “kawan.” Memang kita bisa klik “Remove Friends”. Tapi, begundal macam mana yang tega melakukan hal tersebut, meskipun kepura-puraan tersebut merupakan semacam “neraka”. 

Tentunya, sebagian dari kita masih mengenang saat-saat yang getir dan old-fashioned itu ketika kita berpisah dengan sahabat atau orang terbaik dalam hidup kita. Air mukanya yang tegang, jabat tangannya yang gemetar, atau aroma tubuhnya yang mengesankan kecemasan: itu adalah momen tak tergantikan. Dan mungkin tidak hanya terjadi sekali terjadi dalam hidup seseorang.  

Pencurian Data
Kerugian lain yang bisa disuguhkan oleh Facebook adalah pencurian data oleh hacker yang punya niat jahat melalui aplikasi-aplikasi yang berseliweran di situs jejaring sosial ini. Sebagaimana kita tahu, salah satu keriangan yang bisa dilakukan oleh para anggota Facebook adalah saling berkirim aplikasi, yang bisa dilekatkan ke profil mereka. Fasilitas ini yang kemudian menjadi alasan mengapa Facebook menjadi begitu cepat naik daun. Ada ribuan game, kuiz, dan tes IQ sederhana tersedia bagi mereka. Dan, begitu pengguna menambahkan suatu aplikasi, teman-temannya akan terdorong untuk ikut menambahkan.

Chris Soghoian, seorang peneliti keamanan dunia cyber dari Indiana University, menyatakan di washingtonpost.com bahwa profil-profil pribadi, di mana detil seorang pengguna hanya tersedia bagi teman-teman yang dituju, dapat mengungkapkan informasi personal yang sensitif. Ia bilang, “Anda ingin bersosialisasi dengan teman Anda, namun Anda menyodorkan data pribadi dari profil Anda ke 20 orang asing. Itu bisa bikin masalah.” 

Seorang direktur teknis pada Portcullis Security, perusahaan yang menjadi penasihat pemerintah beberapa negara soal computer security, termasuk pemerintah Inggris, Paul Docherty, menyatakan bahwa, seperti dikutip dari situs berita BBC, ketentuan dan syarat Facebook yang tercantum di situs itu menandakan Facebook telah melindungi diri secara hukum dari tanggungjawab. Namun, “Secara moral Facebook telah bertindak naif, dan perlu mengubah default setting-nya dan memperketat keamanan,” tambahnya. Dia yakin sulit untuk mengamankan sistem yang ada saat ini, sebab kini ada begitu banyak aplikasi pihak ketiga yang beredar.

Pemudik Harus Hati-hati, Ada 19 Perlintasan Kereta Api di Brebes Tanpa Palang Pintu 
Xabi Alonso

Peluang Liverpool Gaet Xabi Alonso Mengecil

Keinginan Liverpool mendatangkan Xabi Alonso untu musim depan nampaknya menjadi semakin kecil. Karena dikabarkan pelatih asal Spanyol itu mau bertahan di Bayer Leverkusen

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024