VIVAnews - Malam Natal telah tiba. Umat Kristiani memperingati
kelahiran Yesus Kristus dengan penuh sukacita. Sementara di belahan bumi lain, di ibukota Zimbabwe, Harare, suasana Natal begitu memprihatikan.
Sesama gelandangan saling memperebutkan tulang ayam yang mereka pungut dari tempat sampah. Pemilik toko tidak sibuk mendekorasi tempat jualan mereka dengan hiasan Natal.
Bagi umat Kristiani di Zimbabwe, negara di mana wabah kolera menewaskan lebih dari 1.100 jiwa, hari Natal tak berbeda dengan hari lain.
Penderitaan masih dirasakan. "Tidak ada yang bisa dirayakan. Natal hanyalah sebuah kisah kelaparan," kata seorang warga Harare, Monica Rugare. "Hari Natal berarti satu hari lain tentang kemiskinan, seperti yang sudah kami hadapi tiap hari."
Tradisi Natal warga kota Harare untuk menghadiahi kerabat dengan
makanan dan pakaian, tidak dilakukan lagi tahun ini. Nyanyian Natal dari gereja nyaris tak terdengar.
Selasa lalu, anak-anak Braeside, dekat Harare, mendapat sedikit keceriaan karena mereka bisa bermain-main dengan semburan air dari saluran air yang bocor, walaupun airnya kotor dan berbau
busuk.
Seorang anak berusia sepuluh tahun, Kudzai Urere, tidak mempedulikan bahaya kolera akibat bermain di air kotor tersebut. Urere mengatakan kalau ibunya sedang pergi mencari makanan. Ibunya tiba saat malam dengan membawa sayuran, bukan makanan atau kue Natal.
Namun mereka sudah merasa sangat beruntung. Di negara yang ketidakadilan begitu nyata, tentu masih ada beberapa orang yang masih bisa menikmati kesenangan.Kekacauan di Zimbabwe menjadi
kesempatan bagus bagi beberapa orang.
Banyak kisah tentang Presiden Robert Mugabe yang menjual permata negara. Komoditas negara yang dikontrol pemerintah adalah nilai mata uang. Ini memungkinkan Mugabe untuk membeli dolar Amerika Serikat (AS) dengan harga miring dan menjualnya kembali di pasar gelap dengan harga berlipat.
Warga Zimbabwe lain membawa masuk makanan dan barang kebutuhan dari negara tetangga, dan menjualnya demi mendapatkan dolar AS. Mereka bisa melewati krisis mata uang karena mereka bekerja di perusahaan-perusahaan asing atau ada kerabat mereka yang tinggal di luar Zimbabwe.
Namun bagi sebagian besar penduduk Zimbabwe, krisis ekonomi di negara yang pernah menjadi eksportir makanan ini telah menyebabkan mereka terpaksa menyandarkan diri pada pemberian dunia internasional.
Belum lagi wabah kolera yang merebak sejak Agustus lalu, telah
menyebabkan 1.100 orang meninggal. Kesalahan dalam pemurnian bahan kimia dan suku cadang kendaraan yang mencemari air dan kurangnya fasilitas pembuangan air, disebut sebagai penyebab munculnya wabah kolera.
Penyakit akibat air tercemar sebenarnya mudah dicegah dan disembuhkan. Namun tidak demikian yang terjadi di negara yang persediaan obatnya sangat minim.
Belum lagi semua rumah sakit pemerintah tutup karena tidak mampu membayar pegawai dan tidak punya dana untuk menutup biaya operasional.
Dokter Without Borders memasukkan krisis kesehatan dan kondisi ekonomi Zimbabwe yang makin melemah ke dalam daftar "Top 10 Humanitarian Crises of 2008". Itu berdasarkan laporan dari PBB yang dikeluarkan pekan ini bahwa tingkat harapan hidup di Zimbabwe anjlok menjadi hanya sampai umur 34 tahun.
Karena krisis, sekitar 2 juta orang yang terinfeksi HIV terpaksa tidak
menyantap makanan karena perlu ongkos bus untuk pergi klinik demi perawatan penyakit mereka.
Sekolah-sekolah di seluruh Zimbabwe kehilangan lebih dari 70 persen
waktu belajar dalam kuartal terakhir tahun ini. Sistem pendidikan hancur akibat krisis ekonomi dan perbedaan kesepakatan antara Mugabe dan Perdana Menteri yang ditunjuk, Morgan Tsvangirai. Sekitar 30 ribu pengajar meninggalkan pekerjaannya karena pertikaian dalam pemilihan Maret lalu.
Tingkat inflasi lebih dari 231 juta persen, bank sentral mengizinkan
toko dan bisnis untuk berdagang dalam uang berkurs tetap untuk
barang-barang impor dan barang pasokan pertanian.
Zuwa, petani miskin di pinggiran Harare, mengatakan bahwa ia tidak dapat menanam di musim penghujan ini karena ia tidak memiliki mata uang ber-kurs tetap untuk membeli bibit tanaman dan pupuk. "Saya tidak punya bibit untuk ditanam. Banyak yang mengalami nasib seperti saya," kata Zuwa.
Kebijakan Mugabe disalahkan karena menahan lahan milik orang kulit putih dan mengalihkannya kepada veteran gerilyawan perang yang bertempur melawan aturan minoritas kaum kulit putih. Sedangkan Mugabe, yang memerintah Zimbabwe selama 28 tahun, menyalahkan sanksi negara Barat.
Walaupun sebenarnya Uni Eropa dan AS hanya mentargetkan Mugabe dan belasan perwiranya dengan membekukan rekening bank dan memberlakukan larangan bepergian bagi mereka.
Di sebuh toko yang menggunakan mata uang ber-kurs tetap Selasa lalu, tidak ada pengunjung yang membeli sepeda anak-anak seharga US$ 350 atau sebuah stereo system berharga US$ 650.
Sementara itu, komisi kehutanan Zimbabwe melaporkan bahwa 720 ribu akre lahan, kini gundul karena pepohonannya ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Mereka memerlukan kayu bakar untuk menghangatkan rumah dan memasak akibat tidak ada pasokan listrik selama dua tahun terakhir. (AP)