Zainal Arifin Muchtar

Pantaskah Jaksa Bergaji Tinggi?

VIVAnews - Jika kebijakan renumerasi gol, tahun 2009 akan jadi tahun yang manis bagi para jaksa. Saat ini, tim renumerasi sedang menggodok instrumen reformasi birokrasi di Korps Adhyaksa itu.  Kalau tak ada aral melintang, tunjangan kesejahteraan jaksa bakal cair pertengahan 2009. Gaji jaksa akan setara gaji hakim dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menariknya, renumerasi digulirkan di tengah sorotan publik terhadap kebobrokan kejaksaan, terutama pasca-tertangkap tangannya jaksa kelas satu, Urip Tri Gunawan yang menerima uang suap sebesar US$ 660 ribu dari Artalyta Suryani, orang dekat obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim.

Nasdem dan PKS Diskusi Ikut Koalisi atau Oposisi, Surya Paloh: Masih Dikaji, Belum Final

Sejumlah petinggi Kejaksaan Agung yakni mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, mantan Direktur Penyidikan, M Salim, dan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso diduga terkait.

Namun, pengawasan internal Kejaksaan Agung memberi sanksi super ringan bagi ketiganya. Kemas dihukum pernyataan tidak puas secara tertulis. M Salim diberi sanksi teguran tertulis, dan Untung Udji sama sekali tidak mendapat sanksi karena keburu mengundurkan diri.

Terkait renumerasi,  tunjangan jabatan para jaksa akan berlaku untuk pejabat Jaksa Utama (Golongan IVe) hingga terendah Ajun Jaksa Madya (golongan IIIa). Menurut informasi, besarannya, mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 25 juta per bulan, di luar gaji bulanan mereka.

Menyambut renumerasi, Kejaksaan pun lantas berbenah. Salah satunya adalah peningkatan disiplin dengan memasang alat absensi berupa alat pemindai sidik jari di seluruh kantor kejaksaan baik di pusat maupun di daerah. Harapannya,  tak ada lagi karyawan yang menitip absen.

Pertanyaannya, sudah pantaskan jaksa menerima gaji tinggi? Untuk mengetahuinya, VIVAnews mewawancarai Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sekaligus Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar

-------

Pemerintah sedang membahas renumerasi untuk kejaksaan. Apakah ini akan efektif mencegah penyimpangan?

Hampir semua buku-buku, teori-teori menyebutkan menaikan gaji adalah salah satu cara mencegah korupsi, yang paling pokok gaji. Tapi, menurut saya, memberikan renumerasi yang ujungnya pada kenaikan gaji tanpa peningkatan pengawasan, lalu berharap korupsi turun, itu bohong. Hasilnya justru pendapatan jaksa naik, baik dari jalur legal maupun ilegal. Diperkuat dulu modal pengawasannya. Kita belajar dari Mahkamah Agung, apakah setelah renumerasi ada perbaikan signifikan? Yang kita lihat putusannya tetap ajaib, Mahkamah Agung masih jadi mahkamah ajaib. Kenaikan gaji memang kebutuhan mutlak, tapi tanpa dibarengi mekanisme pengawasan, bodoh sekali.

Saat ini kejaksaan punya pengawasan internal dan Komisi Kejaksaan

Pengawasan internal masih dipertanyakan, buktinya Kemas Yahya Rahman tidak bisa dihukum, Untung Udji Santoso, dan Salim juga. Banyak juga jaksa-jaksa yang menyimpang tak jelas sanksinya. Sedangkan pengawasan eksternal, Komisi Kejaksaan, seperti tukang pos. Mereka hanya menunggu laporan, baru melakukan penindakan. Itupun lantas disampaikan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan, masuk lagi ke pengawasan internal. Sama saja bohong.

Kalau dibandingkan gaji pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, gaji jaksa kan memang lebih kecil.

Pemerintah menaikan gaji komisi antikorupsi karena prestasi, anggarannya berbasis kinerja. Istilahnya, kerja memuaskan, gaji juga memuaskan. Keliru jika argumen gaji kejaksaan harus naik dengan alasan meniru Komisi Pemberantasan Korupsi. Pertanyaannya, apakah kerja kejaksaan sudah memuaskan saat ini? Harus dipikirkan bagaimana mereka memuaskan rakyat dengan kinerja, bagaimana meningkatkan pengawasan yang minim, dan bagaimana meningkatkan keberhasilan. baru, memikirkan kenaikan gaji.

Dalam rangka reformasi birokrasi, kejaksaan sudah berbenah, diantaranya menerapkan absensi sidik jari.

Yang penting itu meningkatkan pengawasan. Absensi sidik jari, itu remeh temeh. Misalnya saja, ada jaksa yang akan bersidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pagi, tak mungkin mereka ke kantor dulu untuk absen sidik jari, tidak ada logikanya. Pengawasan itu artinya Komisi Kejaksaan dipermak, pengawasan internal dikuatkan, mekanisme reward and punishment harus lebih konsisten.

Bagaimana cara meningkatkan pengawasan?

Yang paling strategis, optimalisasi Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas internal jaksa. Komisi Kejaksaan harus diposisikan sesuai fitrahnya sebagai lembaga pengawas jaksa, tujuh anggotanya harus berani bersikap. Itu yang sulit, bagaimana mungkin bisa berani, mereka itu kan diangkat berdasarkan rekomendasi Jaksa Agung. Aturannya begitu, dalam Pasal 18 Peraturan Presiden No 18 Tahun 2005 tentang  Komisi Kejaksaan. Komisi Kejaksaan juga harus diberi wewenang memberikan rekomendasi sanksi, bukan hanya menyampaikan temuannya pada Jaksa Agung.

Untuk pengawasan internal, bagaimana memperbaikinya?

Banyak hal yang harus dibuka, terutama soal rekruitmen. Yang jelas, punishment-nya harus kuat, reward-nya harus kencang. Pengawasan internal harus tegas.

Apa yang bisa jadi tolak ukur jaksa sudah bekerja dengan baik sehingga pantas naik gaji?

Parameternya, jaksa bekerja baik. Tidak ada yang memeras Bupati seperti yang ada di Gorontalo [Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta, Ratmadi Saptondo], tak ada aparat Kejaksaan membuat salinan putusan palsu seperti di Medan.

Pertanyaan terakhir, pantaskan jaksa menerima gaji tinggi?

Paling tidak kita belajar dari kasus Mahkamah Agung, jangan sampai kita jatuh ke lubang yang sama. Secara teoritis memang benar menaikan gaji mengurangi korupsi, tapi membacanya  harus situasional. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi.














Ketua KPU Depok, Willi Sumarlin

Pendaftaran Petugas PPK Dimulai, KPU Depok Akan Rekrut 55 Orang

PPK akan bekerja selama delapan bulan.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024