VIVAnews – Pakar hukum, I Gde Pantja Astawa menilai, berdasarkan asas asersi, auditor Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK harus mengonfirmasi pihak yang diperiksa atau auditee dalam pemeriksaan. Baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigasi.
"Pemeriksa harus sesuai dengan ketentuan UU 15/2006 tentang BPK dan Peraturan BPK No. 1/2017 tentang SPKN (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara)," ujarnya seperti dikutip dari keterangannya, Jumat 30 Agustus 2019.
Pantja mengatakan hal itu, menanggapi pernyataan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) I Nyoman Wara di depan panitia seleksi (Pansel) bahwa dirinya tidak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee dalam melaksanakan audit.
Sebelumnya, dalam tes wawancara oleh Pansel di Kementerian Sekretariat Negara pada Selasa lalu, 27 Agustus, Nyoman mengaku sebagai auditor BPK, pihaknya tidak melakukan konfirmasi terhadap auditee saat melakukan audit investigasi, termasuk dalam kasus SKL BLBI.
Nyoman menyatakan, audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara. Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun.
Padahal, audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006, tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan, dalam audit BPK pada 2006, dinyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim (SN).
Nyoman menjelaskan, perbedaan hasil itu didapat, lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.
Pantja mengingatkan, dari data yang dimiliki, audit BPK 2002 juga audit investigatif, bukan audit kinerja.
Pantja, yang juga mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK mengatakan bahwa dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur.
Pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK. Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan.
Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi. Asas yang mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa. Yang diperiksa, harus dikonfirmasi apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK.
"Maksudnya, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak, alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apa pun sebagaimana diatur dalam Undang-undang BPK. Ada ketentuannya. Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (5) UU BPK," tambahnya.
Adapun isi Pasal 6 Ayat (5): Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
Menurut Pantja, kalau tiga hal mendasar ini sudah ditempuh, itulah LHP yang sah secara hukum. “Kalau asas asersi ini tidak dipenuhi, saya berani katakan LHP dinyatakan batal demi hukum. Kenapa? Karena norma UU menentukan demikian," ujarnya.