VIVAnews - Musim kampanye partai politik kembali datang. Menjelang pemilihan umum legislatif, 9 April 2009, banyak partai politik dan calon legislatif menjual pemberantasan korupsi sebagai barang dagangan dengan harapan laku. Tapi namanya barang jualan di musim kampanye, pasti ada kecurigaan itu hanyalah lip service, sebatas manis di mulut. Sehingga tidak ada jaminan akan dilaksanakan.
Padahal partai politik memiliki keterwakilan anggota di DPR. Para anggota fraksi itu memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Sekarang mari kita lihat satu persatu fungsi ini dalam konteks pemberantasan korupsi.
Fungsi legislasi. Kita tahu Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi tidak juga dibahas-bahas. Padahal RUU ini menjadi pondasi keberadaan pengadilan khusus korupsi yang saat ini justru bekerja lebih baik dibandingkan pengadilan biasa.
Kondisi RUU pengadilan korupsi itu berbeda dengan kasus pengesahan Undang -Undang (UU) Mahkamah Agung (MA). Kalau UU MA bisa dikebut, kenapa RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi tidak bisa? Dari sini saja kita bisa buktikan apa yang menjadi prioritas fraksi partai politik.
Fungsi pengawasan. Anggota DPR memiliki fungsi untuk mengawasi baik anggotanya sendiri maupun pelaksanaan pemerintahan. Tapi, kita lihat Badan Kehormatan tidak bisa mengawasi anggotanya. Buktinya, banyak anggota DPR yang terganjar kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Terakhir, fungsi anggaran. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan anggaran untuk pembangunan gedung dan penjara karena kapasitas yang ada saat ini sudah tidak sesuai. Kita tahu, anggaran untuk KPK ini sampai sekarang masih dipersulit DPR.
Pada Pemilu 2004, semua partai politik berjualan pemberantasan korupsi saat kampanye. Jadi, dengan contoh di atas, susah untuk percaya partai politik yang berkampanye saat ini serius untuk mengusung pemberantasan korupsi.
Sebelum berbicara pemberantasan korupsi di tataran kebijakan, minimal partai politik harus berperan dalam kampanye. Seperti apa, tinggal jawab saja pertanyaan ini.Apakah para partai politik sudah melaporkan konsolidasi rekening mereka? Saya yakin, uang partai politik itu tidak hanya ada di rekening Dewan Pimpinan Pusat, tapi juga di yayasan, organisasi massa, dan calon legislatif partai itu.
Lalu, apakah laporan keuangan itu bisa diaudit? Sebelum bicara pemberantasan korupsi, buktikan itu saja dulu: keuangan transparan, sesuai undang-undang, laporan rekening keseluruhan, dan adanya transparansi dana kampanye.
Pelaksanaannya? Sampai batas akhir penyerahan rekening awal partai politik, Komisi Pemilihan Umum masih kesulitan mengumpulkan rekening-rekening awal itu. Menurut saya, publik harus mencurigai dana yang tersimpan di rekening itu. Sebab, jumlahnya terkadang tidak sebanding dengan jumlah pengeluaran untuk iklan kampanye mereka.
Saya kira, rekening partai politik ini tidak mencerminkan belanja kampanye partai politik. Beberapa partai besar dan bermodal besar sudah memulai iklan sejak tahun lalu. iklan di televisi dan media cetak besar itu tidak kecil biayanya.
Partai yang paling giat mengusung pemberantasan korupsi adalah Partai Demokrat milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, pemberantasan korupsi yang mereka klaim sebagai keberhasilan adalah kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang notabene merupakan lembaga independen.
Walau Presiden mengatakan tidak intervensi terhadap penyidikan komisi antikorupsi, tapi keberhasilan yang diklaim itu adalah keberhasilan perseorangan, bukan partai.
Untuk itu saya sarankan masyarakat lebih selektif dalam memilih calonnya di parlemen. Sulit jika mengandalkan partai politik. Cara yang relatif mudah adalah pilih saja langsung caleg yang tidak pernah terlibat dalam kasus-kasus korupsi.
Memang, cara ini pun masih terbentur minimnya pengetahuan masyarakat mengenai track record para calon. Tapi cara ini relatif lebih baik.
Disarikan dari wawancara Danang Widiyoko, Kordinator Indonesia Corruption Watch (ICW).