Rapimnasus Golkar

Maju dengan Kaki Pincang

VIVAnews - KANTIN di Istana Wakil Presiden itu mendadak meriah. Jusuf Kalla tiba-tiba mengajak para tamu ke kantin kecil yang menempel di pinggir tembok istana itu. Di sana ada Wakil Ketua MPR yang juga adik ipar Kalla, Aksa Mahmud, Ketua Fraksi Golkar di parlemen Priyo Budi Santoso, Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault,  politisi muda Golkar Indra J Piliang dan sejumlah tamu penting.

Eks Stafsus Kementan Akui Pernah Diperintah SYL Urus Ultah Nasdem

Si pemilik kantin dan pasukan pengamanan presiden tentu saja kelimpungan. Sebab kantin kecil itu tidak mampu menampung tamu penting sebanyak itu. Dan Jumat itu  adalah pertama kali seorang wakil presiden makan siang di kantin itu. Pasukan pengaman  sibuk menata meja dan kursi plastik.

Kalla duduk diapit Adhyaksa dan Priyo. Meja di sebelahnya Indra J Piliang bersama Aksa Mahmud. Kalla memesan sop daging, juga para tamu lain. Sembari menunggu pesanan itu, dia mengunyah satu gorengan dan rempeyek kacang yang terhidang di atas meja. Sesekali dia tertawa lebar mendengar cerita Adhyaksa.

Gaya Hidup Aktif Masyarakat Dorong Permintaan akan Perangkat yang Sesuai

Kepada Kalla yang juga Ketua Umum Golkar itu, Indra J Piliang berkeluh kesah.  Mantan peneliti Center for Strategic and International Studies yang menjadi calon legislatif  itu mengaku tidak lolos ke Senayan.

Di daerah pemilihannya Sumatera Barat II, Golkar cuma mampu mengirim satu wakil. Mendengar keluhan itu, Kalla menjawab pendek, “Kalau memang tak dapat di DPR, masih banyaklah tempat lain untukmu membaktikan diri.” Acara makan siang itu berlangsung sekitar satu jam. Kalla melanjutkan kesibukannya. Menerima sejumlah tamu penting di  ruang kerjanya.

Persija Kurang Maksimal saat Kalahkan Persis, Ini Alasannya

Hari-hari ini, kesibukan Kalla memang menjulang. Dia juga harus bergerak cepat. Pagi hari, sebelum makan di kantin itu dia menerima rombongan Ketua Umum Hanura, Jenderal (Purn) Wiranto di rumah kontrakannya di Ki Mangunsarkoro Jakarta Pusat. Rumah itu persis disamping rumah dinas wakil presiden.

Malam hari, Jumat pekan lalu itu, dia bertamu ke rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Tiba pukul tujuh lebih 30 menit, Kalla mengenakan batik bernuansa merah. Tuan rumah juga serba merah. Megawati, Taufik Kiemas suami Mega yang juga Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan, Puan Maharani dan Sekretaris Jenderal partai Pramono Anung mengenakan batik merah.

Kalla bergegas menyalami Mega yang menunggu di depan pintu.“Apa kabar, Bu?” tanya Kalla sembari menyorongkan tangan. Senyum Megawati pun merekah sambil menyalami Kalla. Keduanya lalu memasuki rumah.

Pertemuan dua pemimpin partai ini berlangsung satu jam sepuluh menit. Kalla pulang jelang pukul sembilan malam. Isi pertemuan keduanya juga menyangkut soal makanan. “Keduanya menyepakati saling mengirim makanan kesukaan,” kata Pramono Anung yang ikut dalam pertemuan itu.

Tentu saja  yang dimaksudkan Pramono bukanlah sop daging, makanan kesuksaan Jusuf Kalla. Juga bukan sekedar rempeyek kacang, yang cuma menjadi suguhan pelengkap. Makanan itu cuma kiasan.

Dalam pertemuan itu, kata Megawati, keduanya membahas kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan koalisi pemilihan presiden yang digelar 8 Juli 2009. “Kami harus membuat rincian bersama, karena sebagaimana saudara ketahui kami ini berada dalam posisi oposisi dan Golkar pada pemerintahan," kata Mega usai pertemuan.

Pertemuan itu sesungguhnya bisa disebut setengah gagal. Ganjalan terbesarnya justru terletak pada dua persoalan penting tadi, pemilu legislatiif dan siapa wapres dan Capres dan pemilu presiden.

Soal pemilu legislatif  Megawati menegaskan “Kami dari partai yang secara prinsip berbeda. Kami opisisi dan beliau dari partai pemerintah.” Seperti menjawab Megawati, Kalla dalam konferensi pers menegaskan bahwa soal kirsuh DPT, “Kita kembalikan saja pada aturannya. Jadi, kita kembali saja pada aturan hukum.”

Posisi Kalla  jauh lebih lunak daripada sikap barisan Teuku Umar. Kelompok Teuku Umar yang melibatkan Partai Hanura, Gerindra dan sejumlah partai lain menganggap kisruh DPT dilakukan secara sistemik. Pelanggaran terbesar sepanjang sejarah pemilihan umum di negeri ini.

Ganjalan kedua dalam pertemuan itu adalah siapa yang harus menjadi presiden dan siapa pula yang harus mengalah menempat posisi kedua, wakil presiden. Maklum, Megawati dan Jusuf Kalla sama-sama diusung partainya ke kursi nomor satu.

Soal ganjalan ini, Kalla berujar, “Dalam mencapai koalisi itu tentu saja ada proses lebih lanjut.” Kini beban dua ganjalan besar itu berada dipundak tim kecil yang dibentuk dua kubu.

Kepastian Jusuf Kalla maju sebagai calon presiden diketuk dalam Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rampinas Khusus) Golkar yang digelar Kamis 23 April, di Hotel Borobudur di Jakarta. Rapat itu dihadiri 200 orang.

Seluruh pengurus  pusat dan ketua Golkar propinsi. Agendanya: apakah Golkar maju sebagai calon presiden atau wakil presiden. Hasilnya Kalla maju ke kursi nomor satu.

“Merupakan putusan daerah bahwa Ketua Umum Jusuf Kalla menjadi calon presiden dari Partai Golkar," kata Ketua Golkar Syamsul Muarif dalam jumpa pers usai rapat itu.

Keputusan itu mengakhiri sejumlah spekulasi panjang bahwa Golkar akan mengirim calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono yang dicalonkan Partai Demokrat. Juga sekaligus menutup pintu negosiasi berkepanjangan dengan Demokrat.

Rapat itu juga memberi mandat kepada  Kalla mencari mitra koalisi. Sebuah tim kecil dibentuk membantunya. Kalla harus melaporkan kepada partai hasil komunikasi koalisi dengan partai lain.

Surya Paloh, Ketua  Dewan Penasehat Golkar, sumringah dengan hasil itu.  “Nanti malam kami akan bertemu dengan PDI Perjuangan,” kata Paloh. Kalla  yang hadir dalam jumpa per situ berujar,”Terima kasih atas amanat yang berat ini. Kami harus bekerjasama demi suksesnya amanat ini.”

Persoalan terbesar Jusuf Kalla dan Golkar justru pada kerjasama itu. Sebab sebagian petinggi Golkar dan pengurus daerah belum sepenuhnya iklhas mendorong Kalla ke kursi wakil presiden apalagi ke kursi nomor satu.

Wakil Ketua Umum Golkar, Agung Laksono, mengaku terkejut dengan kesepakatan Borobudur  itu. Ketua Umum DPR ini memang tidak mengikuti rapat hingga pungkas, sebab dia harus menerima tamu Perdana Menteri Malaysia Najip Tun Razak di Senayan.

Agung mengetahui Kalla diusung jadi calon presiden dari tayangan langsung di televisi. Saat itu Agung yang baru saja menerima Najip sedang beristirahat di ruang pimpinan DPR bersama Ketua Fraksi Demokrat Sjarief Hasan. “Memang sepertinya beliau (Agung Laksono) terkejut,” kata Sjarief menceritakan momen itu.

Agung terkejut, karena saat dia meninggalkan arena Rapimnas pada pukul 13.00,  forum lebih cenderung mempertahankan koalisi dengan Demokrat. Golkar tetap mempertahankan rencana membidik posisi calon wakil presiden mendampingi Yudhoyono.

"Yang jelas tadi pagi wacananya cawapres, tiba-tiba sekarang capres.  Saya benar-benar tidak tahu.  Saya baru lihat tadi di televisi.  Saya akan cek dulu, apa betul memang seperti itu," kata Agung saat buru-buru meninggalkan gedung parlemen untuk menemui rekan-rekannya di Golkar.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Sulawesi Tenggara, Laode Ridwan, yang mengikuti Rapimnas dari awal sampai akhir juga terkejut. Ridwan menyatakan, keinginan daerah tidak persis seperti yang dikatakan Syamsul Muarif.

“Kami hanya memandatkan Pak Jusuf Kalla menjadi ketua tim pembentukan koalisi,” katanya usai Rapimnas. Ridwan menyatakan, poin pertama pernyataan Syamsul Muarif tak ada dalam kesepakatan.
Penolakan keras terhadap putusan itu juga digalang sejumlah sesepuh Golkar dan pengurus partai tingkat dua. Kurang satu kilometer dari erana rapat, di Hotel Aryadhuta 25 Dewan Pimpinan Daerah tingkat II Golkar berkumpul bersama mantan Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung.

Mereka berkumpul bersamaan dengan waktu jalannya rapat di Borobudur. Mereka menilai bahwa sia-sia Golkar mencalonkan presiden sendiri.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah tingkat II Kota Malang Partai Golkar, Aries Pujangkoro, menyatakan Golkar sudah terlambat mengajukan calon presiden. "Kalau opsi mengusung calon presiden tidak memungkinkan karena waktunya sudah mepet dan Partai Golkar sudah ketinggalan partai-partai lain," kata Aries yang mengklaim mewakili 38 Dewan Pimpinan Daerah tingkat II se-Jawa Timur itu.

Dan Aries sendiri menilai sikap oposisi terlalu berlebihan. "Oposisi bukan pilihan yang tepat karena hanya akan membawa Golkar ke liang kehancuran. Langkah yang tepat justru koalisi dengan mitra yang dinilai rasional," ujarnya.

Tentu yang dimaksud Aries adalah Partai Demokrat dan kader yang digadang-gadang menjadi calon wakil presiden adalah Akbar Tandjung yang berada di forum yang sama dengannya.

Akbar Tandjung sendiri berpendapat senada. "Golkar mengusung calon presiden tidak mudah, bahkan impossible," katanya. Sebab, lanjut dia, partai politik tengah sudah berkoalisi untuk menentukan calon presiden. "Seperti PKB ke Yudhoyono, Gerindra dan Hanura ke Megawati," tambah Akbar.

Itu baru persoalan dukungan. Energi dan biaya yang diperlukan untuk mengusung capres tentunya sangat banyak. "Belum lagi opini publik tentang calon yang kita usung, perlu diperhitungkan tingkat elektabilitas.” Jadi, yang paling tepat bagi Golkar adalah berkoalisi dengan partai lain. "Yang paling realistis, kerjasama mengajukan calon wakil presiden," katanya. Akbar memang mencalonkan diri sebagai wakil presiden Yudhoyono.

Ketua Partai Golkar Muladi yang mengikuti Rapimnas dari awal juga menyatakan keputusan pencalonan presiden tidak rasional, bahkan dipengaruhi emosi. "Harga diri partai sangat menonjol di sini," kata Muladi. "Menurut saya, suasana emosional sangat mewarnai pertemuan ini," kata Muladi yang tampak tegang.

Menurut Muladi, peserta Rapimnas harusnya mempertimbangkan hasil survei dan kesulitan membangun koalisi baru. Walhasil, upaya Kalla maju ke kursi nomor satu tidak ditopang semua kekuatan politik di Golkar. Dia maju dengan si beringin yang pincang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya