Pemilu 1987

Jogetisasi, Dangdutisasi, dan Monoloyalitas



Tradisi kampanye dengan suguhan dangdut dimulai pada era ini. Sempat beredar foto caleg PPP yang asoy goyang dangdut.

Artis masuk partai politik bukan lagi soal aneh di zaman sekarang, apalagi kalau goyang dangdut pada saat berlangsungnya kampanye. Dangdut lebih memiliki daya magnetik bagi orang-orang untuk datang ke ajang kampanye partai peserta Pemilu ketimbang mendengarkan paparan program kerja partai lima tahun ke depan. Soal joget dan dangdut ini punya sejarahnya sendiri.

Sudah lumrah kalau pada masa Orde Baru ada beberapa petinggi terlibat affairs dengan penyayi dangdut, sebut saja salah satunya Moerdiono dan penyanyi dangdut Machicha  Mochtar. Setiap kali penyelenggaraan kongres partai dan pertemuan-pertemuan politik lainnya, dangdut dan goyangan penyanyinya selalu jadi suguhan utama dalam acara-acara itu. Bahkan tanpa malu-malu para petinggi pun ikut bergoyang ke atas panggung yang tentu saja beberapa di antaranya berujung pada “urusan lain” di belakang panggung.

Sejarah joget dangdut pada perhelatan politik dimulai sejak kampanye Pemilu 1987. Waktu itu booking artis dangdut untuk menghibur anggota dan simpatisan partai mulai marak di mana-mana. Golkar sebagai peserta pemilu yang memiliki modal paling kuat bisa menyewa pedangdut lebih dari satu untuk manggung di beberapa tempat penyelenggaraan kampanye. Walhasil perhatian warga pun segera tertuju kepada Golkar dan kampanye Golkar pada saat pun sukses mengumpulkan banyak massa. “Dendam” Golkar kepada PPP sepertinya belum reda pada Pemilu 1987. Taktik joget dangdut memang jitu untuk mencuri perhatian massa.

Di tengah masa kampanye sempat beredar foto-foto Husein Naro (anak Djaelani Naro), calon anggota legislatif dari PPP, yang sedang asyik berjoget dangdut. Penyebarluasan foto-foto itu, di saat partai peserta Pemilu berlambang Ka’bah itu sedang bekerja keras meraih simpati masyarakat, dinilai sebagai upaya kampanye hitam lawan-lawan politik PPP menjelang Pemilu 1987. PPP yang pada Pemilu 1982 meraih banyak suara di beberapa daerah pemilihan menjadi ancaman tersendiri bagi Golkar. Siapa yang menjadi dalang penyebarluasan foto-foto itu memang tak pernah diketahui secara pasti.

Upaya untuk menggembosi perolehan suara PPP pun diupayakan dengan berbagai cara oleh penguasa Orde Baru, salah satunya melarang penggunaan asas Islam sebagai ideologi partai. Lambang Ka’bah pun diganti jadi bintang. Tidak berhenti di sana saja, dalam Pemilu 1987 ini konflik internal pun terjadi di tubuh PPP. Beberapa tokoh ulama NU di Jawa Tengah dan Timur menyatakan menarik dukungannya terhadap PPP.

Semua persoalan yang merundung PPP itu menyebabkan kemerosotan perolehan suara yang cukup besar. Pada Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 itu PPP cuma mendapatkan 61 kursi di Parlemen yang berarti harus kehilangan 33 kursi di Parlemen dari keseluruhan 94 kursi yang diperoleh dari hasil Pemilu 1982.

Sementara itu PDI berusaha untuk mendekati kekuasaan untuk cari jalan aman dalam Pemilu 1987. Indikasi kedekatan hubungan antara PDI dengan pemerintah terlihat dari campur tangan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam dalam kongres yang menghasilkan pembentukan pengurus baru DPP PDI pada 1986. Strategi berhimpung dengan kekuasaan itu memang berhasil, paling tidak jika diukur dari perolehan jumlah kursi di Parlemen dibandingkan dengan perolehan kursi pada Pemilu 1982. PDI memeroleh 40 kursi di Parlemen, bertambah 10 dari Pemilui 1982 yang hanya bisa menduduki 30 kursi saja di Parlemen.

Politik monoloyalitas pegawai negeri kepada Golkar pun memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Korp Pegawai Negeri (Korpri) diwajibkan menyoblos Golkar. Kontrol pun dilakukan dari tingkat propinsi sampai dengan RT. Sampai-sampai apabila ada satu orang saja yang tak menyoblos Golkar bisa ditebak siapa orangnya. 

Kalau Golkar tentu jangan ditanya. Partai berlambang beringin dengan akar yang kukuh menancah ke tanah itu berhasil meraup 299 kursi di Parlemen, atau bertambah 53 kursi dari Pemilu 1982. Kesuksesan Golkar dalam Pemilu 1987 itu bisa jadi merupakan hasil dari taktik goyang dangdut yang disuguhkan pada kampanye-kampanyenya. Goyaanng..maaaangg....

Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi
Mahfud MD

Mahfud MD Blak-blakan Soal Langkah Politik Berikutnya Usai Pilpres 2024

Mahfud MD, buka-bukaan mengenai langkah politik dia selanjutnya, usai pelaksanaan dari Pilpres 2024. Mengingat mantan Menkopolhukam RI tersebut bukan kader partai politik

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024