VIVAnews - Soal popularitas, artis boleh jagonya. Namun soal kompetensi dan keteguhan melakukan perubahan politik, artis-artis dicibir. Cibiran ini juga datang dari pengamat politik Universitas Indonesia, Boni Hargens.
Alih-alih melakukan terobosan, Boni khawatir selebriti yang menjadi calon legislator akan terjebak dalam kompromi politik dan tidak dapat menolak perintah pejabat elit partai. Pada akhirnya, para caleg artis tersebut hanya dapat duduk di ring 2 dan 3, sementara pengambilan kebijakan partai dilakukan di ring 1. "Mereka tidak akan bisa masuk ke ring 1 itu," kata Boni dalam diskusi di Gedung Dewan Perwakilan Daerah, Senayan, Jakarta, Rabu, 5 November 2008.
Lebih lanjut, perubahan sistem sebetulnya harus dimulai dari perbaikan manajemen partai. "Pertama, perubahan paradigma elit. Kedua, pembenahan manajemen partai. Ketiga, penataan figur-figur partai yang akan dicalonkan," kata Boni.
Bagaimana tanggapan para artis yang menjadi caleg? Jelas mereka menolak cibiran seperti itu. Calon anggota Dewan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan bahwa pengabdiannya bukan pada orang per orang, melainkan pada organisasi dan ideologi partai yang kerakyatan. Manusia, kata pemeran 'Oneng' dalam sinetron Bajaj Bajuri itu, adalah zoon politicon (makhluk politik), baik dengan partai atau tanpa partai. "Dengan demikian, saya akan menggunakan hak politik saya," kata Rieke.
Tantowi Yahya, presenter yang menjadi calon anggota DPR dari Partai Golkar, juga berkata senada. Menurut Tantowi, tak tertutup kemungkinan artis bisa melakukan perubahan. "Politik adalah seni mengelola kemungkinan. Jadi tidak ada titik dalam politik. Semua koma," kata Tantowi.
Baku Tembak, TNI-Polri Berhasil Adang KKB yang Hendak Serang Polsek dan Koramil
Satgas Damai Cartenz Berhasil Hadang Serangan Kelompok Kriminal Bersenjata di Intan Jaya Papu Tengah
