Kejaksaan Agung:

Pengusutan Kasus HOMC Pertamina Belum Tuntas

VIVAnews - Kejaksaan Agung siap mengumumkan status  penyidikan kasus impor bahan baku untuk membuat bensin tanpa timbal  dalam beberapa pekan mendatang.

Menko Airlangga Bertemu Menlu Singapura, Optimis Kerja Sama Bilateral Kedua Negara Terjalin Kuat

“Aduh, kok kamu tahu. Kasus ini masih dilidik (penyelidikan), “  kata Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung,  kepada VIVAnews awal pekan lalu lalu.


Kasus tersebut, dia melanjutkan, masih diteliti dan belum bisa diumumkan. “Nanti ramai kalau diumumkan sekarang.”

Maju Pilkada Kalsel 2024, Pasangan Muhidin-Hasnur Kantongi Restu Haji Isam


Meski begitu, Marwan menjanjikan, akan mengumumkan status kasus tersebut dan beberapa kasus lain dalam dua minggu mendatang. “Dalam satu dua minggu ini akan kami putuskan naik atau tidaknya kasus-kasus tersebut ke tahap penyidikan.”


Kepala Pusat Penerangan dan Hukum  Kejaksaan Agung,  Jasman Panjaitan menjelaskan,  saat ini Direktur Ekonomi dan Keuangan Kejaksaan Agung Suprapto sedang meneliti apakah ada kerugian negara dalam kasus tersebut.  “Kami sedang menunggu itu,” kata Jasman kepada VIVAnews,  Senin, 13 Oktober 2008.

Erik Ten Hag Bongkar Penyebab Antony Ledek Pemain Converty


Kasus ini bermula ketika pemerintah pada tahun 1999 berniat mengurangi penggunaan timbal (tetra ethyl lead/TEL) dalam memproduksi bensin bersubsidi.


Namun, proses pembuatan bensin non-timbal ternyata biayanya sangat tinggi karena Pertamina harus mengganti timbal dengan HOMC (high octane mogas component) yang harganya jauh lebih mahal.
Hal inilah yang membuat Menteri Keuangan Boediono (sekarang Gubernur Bank Indonesia) pada tahun 2003 tidak bersedia menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.  Surat tersebut pada prinsipnya  mewajibkan bensin yang diproduksi Pertamina tidak mengandung timbal.


Pada Januari 2005 Direktur Jenderal Migas Departemen Energi Iin Arifin Takyan dalam suratnya kepada Direktur Utama Pertamina pada prinsipnya juga menegaskan bahwa penyediaan bensin tanpa timbal hanya bisa dilaksanakan  setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan.


Satu bulan kemudian, direksi Pertamina menyurati Menteri Negara BUMN untuk meminta persetujuan proyek bensin tanpa timbal tersebut.  Namun, hingga bulan Juni 2005—ketika Pertamina mulai mengganti timbal dengan HOMC  dalam proses produksi bensin bersubsidi di kilang Cilacap--baik Departemen Keuangan maupun kementerian BUMN belum memberikan persetujuan tertulis.
“Artinya, hingga kini tidak ada satupun legal formal yang dapat dijadikan Pertamina untuk melaksanakan program bensin non-timbal,” kata sumber VIVAnews.


Padahal, dia melanjutkan, proyek tersebut sangat merugikan Pertamina karena harus mengimpor HOMC dengan harga yang sangat mahal. Akibat pastinya adalah penurunan net margin pengolahan Pertamina dari US$ 3,08 per barel crude (tahun 2005) menjadi US$ 0,16 per barel crude (prognosa Desember 2006) atau kerugian sekitar US$ 2,92 per barel crude.


Angka tersebut jika dikalikan dengan pengolahan crude tahun 2006 sebesar 340.262.733 barel crude, maka kerugian yang diderita Pertamina sekitar US$ 993,6 juta atau sekitar Rp 9,2 triliun.
Hal yang sama, kata sumber tersebut, juga terjadi pada tahun 2005. Impor HOMC melonjak dari 6 juta barel menjadi 10 juta barel.  Dengan harga rata-rata harga HOMC tahun 2005 sebesar US$ 61,1 dolar per barel maka kerugian Pertamina pada tahun itu mencapai US$ 308 juta. “Jika ditambah dengan kerugian tahun 2006 maka totalnya menjadi US$ 1.302 juta atau sekitar Rp 12,1 triliun.”

Duit tersebut, kata dia bisa digunakan untuk membangun  sekitar 6 kilang yang memproduksi bensin tanpa timbal. “Sebab biaya pembuatan satu kilang sekitar US$ 230 juta. Jika ini yang dilakukan Pertamina tak perlu mengimpor HMOC lagi.”

Direktur Pertamina  Ari H. Soemarno ketika dimintai konfirmasi soal kasus tersebut mengatakan, “Itu kan isu lama mengapa dibuka-buka lagi.”

Dia menambahkan,  “Kalau memang ada kerugian, kami bersedia diaudit BPK.”

Menurut sumber Vivanews, kerugian akibat impor HMOC itu memang tidak tampak dalam neraca Pertamina karena ketika itu harga minyak mulai melonjak sehingga ada windfall profit yang menutup kerugian akibat impor HMOC.  “Jika dilihat pada neraca Direktorat Pengolahan akan kelihatan jelas kerugiannya.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya