Kerusakan Hutan Ancam Pembangkit Listrik

VIVAnews - Berkurangnya debit air di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sumatera Utara, yang selama ini dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), tidak terlepas dari kondisi ketertutupan hutan di Batang Toru, sebagai lokasi tangkapan air. Untuk itu, dibutuhkan komitmen antar-instansi untuk mendukung upaya penyelamatan lingkungan.

Hal tersebut dikatakan Pendiri Perkumpulan Partisipasi untuk Rakyat (Petra), Monang Siringo-ringo, dalam perbincangannya kepada VIVAnews di kantornya, Sumatera Utara, Senin, 10 November 2008.

Berdasarkan survey yang dilakukan Petra, percepatan kerusakan hutan di kawasan Hutan Batang Toru per tahun mencapai lima persen. Yang dengan sendirinya kondisi ini dipastikan akan mempengaruhi debit air yang terdapat di 11 Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah itu.

Aktivitas perusakan ini berlangsung di Daerah Hulu oleh sejumlah perusahaan berskala nasional. Ditambah lagi beberapa perusahaan pemilik royalti atas hutan yang beroperasi di kawasan Hutan Batang Toru.

Dari luas areal Hutan Batang Toru Blok Barat 81.344 hektare dan Batang Toru Blok Timur 54.940 hektare, hanya segelintir yang masuk dalam kawasan hutan lindung di tiga kabupaten. Ketiganya yakni Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah hanya 20.076 hektare di Hutan Batang Toru Blok Barat. Sedangkan di Blok Timur 5.239 hektar saja yang masuk hutan lindung. "Dengan kondisi minimnya hutan lindung di Hutan Batang Toru, dipastikan debit air yang selama ini dikelola oleh PLN akan terus menurun," kata Siringo-ringo.


Dia melanjutkan, tidak hanya Pembangkit Listrik ukuran mini seperti Aek Raisan I dan Aek Raisan II yang akan terancam operasional akibat penurunan debit air. PLTA Sipansihaporas yang menjadi salah satu mega proyek PT PLN, juga akan bernasib sama.

Untuk mempertahankan pasokan air ini, lembaganya meyakini, langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini hanyalah revisi atas tata ruang Hutan Batang Toru. Langkah itu sebagai bentuk revisi atas SK Menhut No 44 tahun 2005, dengan mengalokasikan minimal 40 persen wilayah tiap-tiap kabupaten sebagai kawasan hutan lindung. Sehingga menutup peluang bagi pihak luar maupun masyarakat sekitar untuk melakukan perambahan atas kawasan tersebut.

Di sisi lain, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, Djati Witjaksono Hadi mengaku persoalan ketertutupan lahan tidak hanya berdampak langsung pada debit air di sebuah kawasan hutan. Ketertutupan kawasan berupa hutan juga memberi pengaruh langsung terhadap satwa-satwa yang terdapat di dalamnya.

Khusus Hutan Batang Toru, Balai mencatat wilayah tersebut merupakan tempat tinggal bagi beberapa populasi satwa yang dilindungi karena jumlahnya yang terus mengalami penurunan. Seperti halnya Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) dan harimau Sumtera. Dengan berkurangnya wilayah hutan, dipastikan akan terus menekan populasi satwa yang dilindungi ini.

Padahal, sejumlah pegiat lingkungan mencatat jumlah populasi orangutan yang terdapat di Kalimantan maupun Sumatera tidak lebih dari 7.000 ekor lagi. Sementara untuk Harimau Sumatera, jumlah hanya sekitar 300 ekor saja.

"Kalau izin kawasan belum berubah, satwa dilindungi yang terdapat di dalamnya dipastikan akan terus mengalami penurunan," kata Djati saat dihubungi VIVAnews. Untuk upaya pelestarian ini, Djati mengakui dibutuhkan kerjasama lintas sektoral maupun instansi, tidak hanya sebatas pihak kehutanan.

Tegaskan Hubungan dengan Syifa Hadju Baik-baik Saja, Rizky Nazar: Tidak Ada Orang Ketiga

Laporan: Jalaluddin Ibrahim/Medan

Praz Teguh.

Praz Teguh Nilai Wanita dari Mata Kaki, Reaksi Netizen Pro Kontra

Bagi Praz Teguh, ketika melihat seorang wanita ia tidak suka memandangi bagian dada ataupun pinggang yang menunjukkan seberapa seksi tubuh wanita itu. Tapi dari mata kaki

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024