VIVAnews - SENYUM kemenangan terkulum di wajah empat anak muda Indonesia. Di depan podium Musée du Louvre, Paris Perancis, wajah mereka sumringah diterpa kilatan cahaya lampu kamera, dengan latar layar besar bertuliskan "Rural Innovation Achievement Award".
Rasa girang bercampur bangga menyelimuti mereka. Dengan bendera Merah Putih membungkus tubuh, Arief Widhiyasa mendapat rangkulan hangat Anoop Gupta, Corporate Vice President Microsoft Unlimited Potential Group Technology Policy and Strategy.
Saat itu, Arief, mahasiswa Teknik Informatika ITB angkatan 2005, bersama tiga rekan sekampusnya; Ella Madanella Dwi Mustika, Dimas Yusuf Danurwenda, dan Erga Ghaniya, menyabet prestasi prestisius di kancah internasional. Software aplikasi rancangan mereka didapuk Microsoft sebagai inovasi terbaik yang dapat diaplikasikan di daerah-daerah terpencil.
Ajang Microsoft Imagine Cup, yang digelar 4-5 Juli 2008, itu adalah hajatan Microsoft saban tahun untuk mengadu hasil kreasi software dari para programmer seantero bumi. Tahun ini, turnamen diikuti oleh 124 tim yang mewakili 61 negara.
Keempat anak Dago, Bandung, yang tergabung dalam Tim Antarmuka, mengusung software yang mereka namakan Butterfly Project. Proyek itu sukses menyingkirkan karya tim-tim pesaing di kategori yang sama, dari Kolombia, Mesir, Afrika Selatan, dan India. Padahal, selama ini India adalah negara yang terkenal sebagai salah satu negara penghasil programmer komputer handal.
Di depan tim dewan juri yang terdiri dari Paul Polak (pendiri International Development Enterprises), Edward Grager-Happ (Chief Information Officer dari yayasan Save the Children), Kentaro Toyama (Assistant Managing Director Microsoft Research India), dan Netika Raval (pendiri Global Social Equity), mereka mampu menjawab semua pertanyaan secara memuaskan.
“Tim ini memilih topik yang menarik, menyajikan demonstrasi yang baik, dan presentasi yang sempurna,” Toyama -salah satu juri, memuji. Satu hal yang membuat Toyama terkesan adalah upaya keras dari tim meminta masukan dari pemerintah (sebagai pihak yang akan berhubungan dengan sistem Butterfly), dan mencari tahu kebutuhan masyarakat sebagai pengguna sistem ini.
Apalagi, Butterfly Project memang sangat kontekstual dengan tema turnamen, yaitu teknologi yang mampu memberi kontribusi bagi kesinambungan lingkungan. Tim Antarmuka dengan Butterfly Project, Toyama melanjutkan, telah membangun sistem yang memungkinkan pengguna dari kawasan terpencil melaporkan masalah lingkungan, langsung kepada pemerintah melalui pesan SMS.
Butterfly Project dibangun dengan bahasa pemrograman C#, framework aplikasi web ASP.NET, serta tool-tool Microsoft Visual Studio. Sementara manajemen database-nya dikembangkan dengan Microsoft SQL Server. Semuanya bisa dirampungkan hanya dalam waktu empat bulan, di tengah semester paling krusial bagi jurusan Teknik Informatika, yaitu semester lima.
Semua dimulai dengan segenap keterbatasan fasilitas. Pasalnya, proposal dana proyek yang mereka ajukan ke kanan-kiri, tiada satu pun yang merespons. Tapi mereka jalan terus. Segenap cara mereka tempuh, termasuk meminjam laptop ke sana-sini, meminjam modem 3G, juga fasilitas lainnya. Bahkan kerabat mereka harus rela bertukar ponsel selama seminggu, karena tim ini membutuhkan PDA-untuk menguji sistem.
Hasilnya tak mengecewakan. Kerja keras mereka melahirkan sebuah aplikasi komputer di mana masyarakat bisa melaporkan berbagai kondisi lingkungan kepada pemerintah, melalui pesan pendek (SMS), pesan multimedia (MMS), percakapan telepon, aplikasi mobile yang diinstal pada Personal Digital Assistant (PDA), maupun lewat situs web di Internet.
Lewat fasilitas-fasilitas tersebut, masyarakat bisa melaporkan kepada pemerintah bila terjadi pencemaran sungai, kebakaran, atau banjir, yang terjadi di lingkungan mereka. Laporan masyarakat yang masuk, akan dipilah-pilah oleh program, untuk kemudian diteruskan kepada instansi pemerintah yang berkompeten menanggulanginya.
Tak sampai disitu, semua laporan akan tercatat rapi dalam database, dan semua orang dapat melihat setiap saat, sampai tahap mana langkah penyelesaian yang telah diambil oleh instansi pemerintah itu. “Proyek kami bisa memotong jalur birokrasi untuk menyelesaian permasalahan lingkungan. Dengan Butterfly Project, setiap pengaduan lingkungan bisa diketahui pada saat itu juga,” ujar Arief, Ketua Tim Antarmuka.
Apa yang Arief katakan bukan sekadar omong kosong, melainkan berdasarkan riset lapangan yang dilakukan dari Desember 2007 hingga Februari 2008. Biasanya, pengaduan tentang permasalahan lingkungan di daerah terpencil, dari mulai di tingkat RT, hingga ke instansi yang berwenang, bisa memakan waktu hingga enam bulan.
Bahkan, kata Arief, ada pula kasus-kasus lingkungan yang telah dilaporkan bertahun-tahun, tapi sama sekali belum ada penyelesaiannya. Tak hanya penyelesaian problem lingkungan saja, terang Arief, sebenarnya Butterfly Project juga bisa digunakan pada institusi lain yang menghendaki transparansi jasa pelayanan publik.
“Proyek Butterfly bisa membantu mengatasi permasalahan tersendatnya aliran informasi dari masyarakat kepada pemerintah, “ kata Ella, mahasiswi Teknik Informatika ITB, anggota Antarmuka.
Apalagi, proyek ini terbilang murah. Investasi awal, hanya memerlukan satu server induk yang harganya sekitar Rp 300 juta. Setelah itu, setiap instansi hanya membutuhkan satu komputer PC yang cukup menginstal aplikasi Butterfly Client, untuk bisa terhubung ke dalam sistem Butterfly.
Sayang, hingga kini belum ada instansi pemerintah yang melirik aplikasi Butterfly. Padahal, bukan sekadar hadiah senilai US$ 10 ribu dan kesempatan riset dan magang di Microsoft Research India, yang dikejar oleh awak-awak Antarmuka, melainkan manfaat yang bisa dipetik oleh rakyat dari hasil karya mereka.
Agustus lalu, Arief cs berkesempatan mendemonstrasikan Butterfly di depan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Namun, hingga kini kelanjutannya pun masih teka-teki. Padahal, pihak Microsoft sudah menawarkan kepada Arief cs, agar program mereka bisa diterapkan di negara-negara lain, seperti India atau negara-negara di Afrika. Agaknya, ‘keindahan’ Butterfly justru memikat negara-negara lain ketimbang di sini. “Sayang sekali bila karya kami sama sekali tidak diimplementasikan di dalam negeri sendiri,” ujar Arief.
Satu lagi keprihatinan Arief, agar pemerintah selayaknya juga memperhatikan putra-putra terbaiknya yang berpotensi dan berprestasi.
Selama ini, kata Arief, senior-senior terbaiknya dari ITB, banyak yang lebih memilih berkiprah di luar negeri, karena minimnya penghargaan dari negara. “Ironisnya, mereka justru banyak yang pergi ke Singapura atau Malaysia. Bahkan banyak yang sudah beralih kewarganegaraan.”