Resensi Buku (1)

Kelompok di Balik Pro-Kontra Konvensi Golkar

Cecaran mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya , Akbar Tandjung, terhadap kepengurusan Golkar saat ini yang dianggap kurang demokratis dan terbuka karena menghapuskan konvensi sebagai mekanisme penjaringan capres, rupanya membuat jengah Burhanuddin Napitupulu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar sekaligus Ketua Harian Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Badan Pemenangan Pemilu) Golkar.

Menanggapi tuduhan ‘kebijakan pintu tertutup Golkar’, Burhanuddin menulis sebuah buku berjudul 'Penjaringan Calon Presiden Partai Golkar: dari Konvensi ke Rapimnas’ setebal 81 halaman.  Dalam buku yang disebar ke kader-kader Golkar itu, dia mengemukakan setumpuk alasan di balik keputusan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar 2007 yang menghapuskan konvensi.

Yang menarik, dalam buku ini diungkapkan secara gamblang tentang perdebatan 3 kelompok di internal Golkar menjelang Rapimnas Golkar 2007, yang berbeda pandangan dalam menyikapi konvensi.  Ketiga kelompok ini adalah kelompok pendukung konvensi, kelompok moderat, dan kelompok yang menolak konvensi.

Menurut Burhanuddin, kelompok pertama – pendukung konvensi, adalah mereka yang sejak awal menjadi pilar utama pelaksanaan konvensi sejak tahun 2004.  Kelompok ini antara lain terdiri dari Akbar Tandjung, Slamet Effendi Jusuf (Ketua DPP Golkar), dan Gandung Pardiman (Ketua DPD Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta).

Bagi Akbar, konvensi adalah cara paling jitu untuk meningkatkan citra Partai Golkar, serta sebagai bentuk penghargaan kepada seluruh jajaran pengurus partai yang telah terlibat dalam proses politik di Golkar.  Menurut Slamet, konvensi adalah representasi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.  Sementara Gandung meyakini, konvensi merupakan salah satu alternatif untuk memunculkan sosok pemimpin yang berkepribadian, visioner, dan solutif.

Selanjutnya, kelompok kedua – kelompok moderat, adalah mereka yang mengambil posisi tengah dalam perdebatan seputar konvensi.  Mereka mendukung pelaksanaan konvensi, namun dengan cara yang berbeda, tidak seperti Konvensi 2004.  Masuk dalam kelompok ini adalah Agung Laksono (Wakil Ketua Umum Partai Golkar), Andi Mattalatta (Ketua DPP Golkar), dan Yuddy Chrisnandi (Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi Golkar).

Dalam buku ini diceritakan, Agung menilai bahwa konvensi menunjukkan adanya kemajuan dalam proses demokratisasi partai, dan merupakan satu-satunya cara untuk mengakomodir tokoh-tokoh di luar Golkar yang hendak mencalonkan diri menjadi presiden.  Dibukanya jalan bagi tokoh non-Golkar untuk masuk ke dalam Golkar, menurut Agung merupakan konsekuensi logis dari sikap Golkar yang tidak menghendaki adanya capres independen.

Oleh karena itu, daripada mencalonkan diri secara independen tanpa dukungan partai, maka Golkar sebaiknya membuka pintu bagi mereka yang berminat menjadi capres untuk berkompetisi secara fair di Golkar.  Namun Agung berpendapat bahwa mekanisme konvensi harus disederhanakan.

Sementara itu Andi berpandangan, konvensi adalah cara yang paling mungkin untuk menghasilkan pemimpin yang dapat merepresentasikan demokrasi dan keterbukaan.  Tetapi Andi juga menegaskan, konvensi bukanlah hal yang baku dari perubahan.  Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Andi tidak terlalu mempersoalkan sistem apapun yang dipilih Golkar dalam menjaring calon presiden, selama hal itu tetap dilakukan secara demokratis.

Terakhir, kelompok ketiga – kelompok yang menolak konvensi, adalah mereka yang secara tegas tidak setuju dengan cara ini dalam menentukan capres Golkar.  Tokoh-tokoh dalam kelompok ini antara lain Jusuf Kalla (Ketua Umum Partai Golkar), Fahmi Idris (Anggota Dewan Penasehat Golkar), dan Burhanuddin sendiri.

Mereka bertiga sepakat bahwa mekanisme konvensi sangat tidak efektif, teramat mahal, dan tidak memberikan hasil maksimal.  Konvensi dianggap mengancam kesatuan partai dan merusak solidaritas kader, karena terjadi persaingan ketat antarpendukung calon – yang masih sama-sama kader Golkar.  Kesetiaan kader tidak lagi diberikan kepada partai, melainkan kepada calon.

Konvensi juga dipandang dapat menyuburkan politik uang, memberi kesempatan luas kepada pihak non-Golkar untuk mengintip dan mengacak-acak isi rumah Golkar, serta membuka celah bagi orang-orang oportunis yang sudah lama absen dalam perjuangan partai untuk kembali menguasai Golkar.

Yang terburuk, konvensi yang notabene merupakan pertarungan internal partai, dituding menghabiskan energi partai sebelum pemilihan presiden (pilpres) yang sesungguhnya digelar.  Akibatnya, capres dan cawapres Golkar bahkan tidak terpilih dalam pilpres putaran pertama pada Pemilu 2004 silam.

Karena itulah, tegas Burhanuddin, Partai Golkar harus melupakan konvensi dan kembali ke Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) yang mengedepankan musyawarah mufakat – serta ditunjang oleh hasil survei opini publik – dalam proses pengambilan keputusannya.  Burhanuddin lantas menyimpulkan, keputusan Rapimnas Golkar 2007 untuk menghapus konvensi adalah sebuah langkah yang sudah sangat tepat dalam menyongsong Pilpres 2009.

“Bagi mereka yang mengamini begitu saja sistem demokrasi Barat, sudah pasti melihat konvensi sebagai kemajuan demokrasi,” kata Burhanudin. “Tetapi bagi mereka yang berpandangan bahwa sebuah sistem harus mempertimbangkan konteks sosio-kultural-ekonomi di negara terkait, maka mekanisme konvensi bisa dipertanyakan: sudah tepatkah penerapannya untuk konteks Indonesia?”

Pada akhirnya, politisi yang berasal sedaerah dengan Akbar Tandjung ini – Tapanuli – menekankan, sistem yang bagus bagi negara lain belum tentu tepat untuk Indonesia. 

Viral Jeam Kelly Sroyer Dikeplak Shin Tae-yong, Ternyata Gegara Ini
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi/Realisasi Investasi.

Pemilu di AS dan Eropa Diprediksi akan Pengaruhi Iklim Investasi Indonesia

Selain Indonesia, tahun 2024 akan ada 64 negara yang juga menyelenggarakan pemilu. Sebagian besar Pemilu 2024 akan terjadi di Benua Eropa, dimana akan ada 19 negara yang

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024