Frenky Simanjuntak

Korupsi Bukan Budaya

VIVAnews - Dalam wacana tentang korupsi, seringkali orang mengaitkan korupsi dengan budaya. 'Budaya korupsi' atau ‘korupsi yang membudaya' sudah menjadi pembahasan yang umum di masyarakat.
 
Namun wacana ini cenderung menyesatkan. Karena hal itu menempatkan fenomena korupsi menjadi satu hal yang mustahil dihilangkan. Padahal  korupsi di Indonesia bukan bagian dari budaya masyarakat.
 
Saat ini, yang terjadi adalah banyak orang yang menggunakan elemen-elemen budaya sebagai legitimasi tindakan korupsi. Hal itu terungkap dalam hasil survei mendalam yang dilakukan Transperancy International Indonesia (TII), selama November 2007- Februari 2008.
 
TII mengambil sampel 10 daerah dengan nilai indeks persepsi korupsi (IPK) 2006, terbaik dan terburuk. Lima daerah terburuk yakni Kota Maumere, Mataram, Gorontalo, Denpasar, Cilegon. Sedangkan, lima kota terbaik: Kota Palangkaraya, Kabupaten Wonosobo, Kota Pare-pare, Kabupaten Tanah Datar, dan kota Yogyakarta.
 
TII melakukan wawancara mendalam dengan stakeholder dari pelaku bisnis, institusi publik, maupun tokoh masyarakat setempat. TII juga melakukan analisis melalui kelompok diskusi terbatas atau focus group discussion (FGD). Secara umum, responden di setiap daerah masih melihat bahwa potensi terjadinya korupsi terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa publik.
 
Selain itu, TII juga menemukan satu hal menarik, peran budaya dalam fenomena korupsi. Budaya lokal oleh banyak informan dalam penelitian ini dianggap memiliki potensi dan memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai budaya yang masih dilengkapi pranata sosial yang lengkap ternyata potensial untuk digunakan sebagai aset dalam pemberantasan korupsi. Salah satu daerah yang mewakili nilai dengan pranata lengkap ini adalah Yogyakarta.
 
Namun, budaya setempat itu harus bisa diadaptasi sehingga sinergis dengan tata kelola pemerintahan yang modern. Hal tersebut hanya bisa berjalan secara efektif apabila didukung juga oleh komitmen pemerintah sendiri.
 
Komitmen itu sendiri nampaknya berkaitan erat dengan latar belakang dari pemimpin daerahnya. Contoh Bupati Sragen, Untung Wiyono, yang berprestasi dalam menerapkan sistem pelayanan publik yang sangat efisien di daerahnya. Untung berasal dari latar belakang profesional dan berhasil menerapkan nilai-nilai profesional kepada stafnya.
 
Di daerah lain --seperti di Tanah Datar, Gorontalo, Cilegon, dan Wonosobo-- budaya justru dimanfaatkan sebagai alat legitimasi kekuasaan yang berujung pada tindakan bersifat korup. Pelakunya adalah oknum pejabat tertentu.
 
Isu putra daerah dan revitalisasi peran-peran pemimpin tradisional yang perangkat pranatanya sudah berabad-abad tidak relevan lagi jika diterapkan dalam pemerintahan modern. Ini sangat menarik bila dilihat dari konteks korupsi.
 
Isu putra daerah sangat berpotensi negatif karena akan membentuk struktur pemerintahan yang berbasis identitas dan kedekatan. Otomatis, isu ini tidak melahirkan pemimpin berbasis kompetensi.
 
Sementara, revitalisasi peran pemimpin tradisional yang fungsi dan perannya dicampuradukkan dengan pejabat daerah, hanya cenderung melegitimasi terhadap perilaku korup dan kolusi.

Menko Airlangga Bertemu Menlu Singapura, Optimis Kerja Sama Bilateral Kedua Negara Terjalin Kuat

Dari survei ini, TII menarik pembelajaran. Ini sekaligus bisa dijadikan sebagai rekomendasi kepada pemimpin-pemimpin terutama di daerah.

Pertama, daerah-daerah yang memiliki perangkat pranata budaya lokal yang masih cukup terjaga bisa menggali kebijaksanaan lokal. Kebijaksanaan ini dapat menciptakan sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
 
Kedua, perlu diwaspadai bentuk-bentuk revitalisasi nilai budaya yang dikaitkan dengan masalah kekuasaan politik daerah, karena berpotensi menciptakan sistem pemerintah yang penuh kolusi dan nepostisme.
 
Terakhir, sistem pelayanan satu pintu harus terus ditingkatkan dan disosialisasikan ke seluruh daerah karena terbukti menciptakan perbaikan dalam sistem pelayanan publik.
 
Dengan demikian, korupsi jangan lagi dianggap sebagai budaya masyarakat. Sebaliknya masyarakat harus kita ajak untuk mencegah dan memberantas korusi melalu semangat budaya lokal.  Semangat itu diperlukan mengingat masih suburnya kasus korupsi di sejumlah daerah.

Disarikan dari makalah Frenky Simanjuntak, Policy and Reseach Department Transperancy International Indonesia (TII)

Dok. Istimewa

Gugatan PDIP Diterima PTUN, Gayus Lumbunn: Permononan Kami Layak untuk Diproses

Menurut tim kuasa hukum PDIP, pihaknya sudah mendatangi KPU RI untuk menyampaikan putusan hakim PTUN dalam dismissal process yang diajukan.

img_title
VIVA.co.id
23 April 2024