Tunanetra Pertama Peraih Gelar Doktor

VIVAnews - Hidup dengan mata yang tidak berfungsi bukan halangan untuk mengejar mimpi. Apalagi mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Saharuddin Daming, seorang penderita tunanetra asal Sulawesi Selatan membuktikan. Dengan percaya diri yang kuat, Ia berhasil meraih Doktor di Universitas Hasanuddin Jurusan Hukum.

"Ibu saya berpesan, kejarlah ilmu jika ingin menjadi manusia bermartabat dan hidup lebih baik," kata Saharuddin Daming, saat ditemui di Jalan Piere Tendean, sebuah yayasan yang khusus menampung para penyandang cacat.. 
 
Semangat itulah, lanjut Saharuddin, yang senantiasa mengisi jalan hidupnya selama ini. Disaksikan sekira 150 orang undangan yang tidak bisa ia lihat hari itu, Ia dengan sangat meyakinkan, bisa mempertanggungjawabkan desertasinya berjudul "Paradigma Perlakuan Negara Terhadap Hak-hak Penyandang Cacat Dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia".

Kubu 03 Bantah Pemilu Ulang Hambat Pelantikan Presiden Terpilih: Alasan Mengada-ada

Terlepas dari persoalan penyelenggaraan pemilu, persoalan hak-hak tunanetra memang menjadi isyu yang Saharuddin perjuangkan selama ini. Apalagi ia merasakan sendiri bagaimana hidup menjadi seorang tunanetra.

"Santapan setiap hari bagi kami penyandang cacat adalah dilecehkan, diremehkan, disia-siakan, diabaikan, dan dieksploitasi," ujarnya ketika ditanya tanggapannya terkait kondisi penyandang cacat di Indonesia.

Perlakuan diskriminatif terhadap penyandang cacat tidak hanya dilakukan oleh sesama manusia. Namun juga negara dan pemerintah ikut mendiskriminasi para penyandang cacat tersebut. Lantaran, perhatian negara kepada kaum tunanetra masih sangat kurang.

Perhatian terhadap penyandang cacat hanya retorika. Kenyatanya, akses terhadap pendidikan dan kebutuhan para penyandang cacat di tataran publik masih setengah-setengah," tambah Pak Andi, biasa dia disapa.

Profil Sandra Dewi, Artis Cantik yang Suaminya Terjerat Kasus Korupsi

Diskriminatif Kaum Cacat

Dari catatannya, banyak sektor lainnya yang menjadi pusat praktek diskriminasi terhadap penyandang cacat. Seperti saat melamar pekerjaan yang selalu menilai pada faktor fisik, tidak adanya fasilitas untuk penyandang cacat di pusat perbelanjaan serta jalan umum untuk penyandang cacat diserobot oleh penjual kaki lima.  

"Ini yang buat saya risau. Padahal kemampuan penyandang cacat banyak yang lebih baik dari orang-orang normal secar fisik," lanjutnya, yang tetap akan memperjuangkan orang-orang yang senasib dengannya.

Karena keterbatasan dan perlakuan diskriminasi yang mereka rasakan, Saharuddin tidak henti-hentinya memperjuangkan hak-hak penyandang cacat. Salah satunya hak politik penyandang cacat dalam penyelenggaraan pemilu.

"Berkaca pada pemilu 2004, hak-hak penyandang cacat itu sangat didiskriminasi. Jadi jangan salahkan kami jika partisipasi pemilih sangat rendah," tegas pendiri Yayasan Penyandang Cacat Sulsel ini.

Untuk itu ia berharap, diskriminasi tersebut tidak terulang pada pemilu 2009. Pasalnya, penyandang cacat memiliki persamaan hak di negara ini. Ia menilai, penyandang cacat dan warga negara lainnya hanya dibedakan oleh fisik.

Tapi secara hak, itu diatur oleh negara dalam Undang-undang. "Mendiskriminasi penyandang cacat tu sama saja dengan melakukan pelanggaran terhadap undang-undang," tegas Saharuddin Daming lagi.

Wawancara Lawasnya Jadi Sorotan, Sandra Dewi Ogah Disebut Hidup Bak di Negeri Dongeng

Meraih gelar dokter, bagi dia merupakan pencapaian tertinggi dalam bidang akademisnya. Dihadapan tiga pengujinya, Saharuddin meraih doktor dengan hasil memuaskan (A+). Itu pula yang membuatnya tercatat sebagai sebagai penyandang tunanetra pertama di Indonesia yang meraih gelar doktor di bidang ilmu hukum. Gelar yang menguatkan salah satu anggota komisioner Komnas HAM tersebut.

Saharuddin tidak begitu saja meraih doktor. Semuanya dilakukan dengan kerja keras. Masih terngiang di kepalanya, betapa beratnya perjalan hidup yang ia jalani. Ia sendiri tidak menyangka, hidupnya yang dulu begitu susah, bisa berubah menjadi lebih baik.

Saharuddin Daming dilahirkan 28 Mei 1965, atau sekitar 44 tahun lalu. Tepatnya di kampung Panyanya, Kota Parepare, sekira 150 kilometer dari Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Daming, sementara ibunya bernama Siti Lai.

Saharuddin adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Saat baru berusia 6 tahun, ayahnya yang pensiunan pegawai kotapraja meninggal dunia. Otomatis, sejak saat itu, harapan hidup menjadi tanggungjawab ibunya.  Siti Lai mulai mencari usaha untuk menafkahi anak-anaknya. Seperti menjual jagung bakar. Saharuddin kecil kemudian terpanggil juga mencari nafkah untuk membantu ibunya.

"Saya dulu pernah menjual jagung, es lilin, jalabgkote, kondektur angkot, kuli bangunan dan pengangkat keranjang ikan," cerita Saharuddin mengenang masa lalunya.



Reporter: Rahmat Zeena | Makassar

Fashion Photoshoot Project Volume 5

Menginspirasi Generasi Baru, Fashion Crafty Jakarta Hadirkan Kolaborasi Fashion Photos Project 5

Event yang diselenggarakan oleh Fashion Crafty Jakarta menampilkan pertemuan yang menginspirasi antara desainer mode, fotografer, makeup artist, dan fashion stylist.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024