Mengenal Kembali Bung Karno Lewat Moskow III

VIVAnews - Para penulis menyimpulkan bahwa menjelang tahun 1965, waktu untuk perebutan kekuasaan sudah masak: Blok kaum kanan dalam tahun?tahun “demokrasi terpimpin” telah benar-benar begitu menguat, sehingga telah mulai berani menilai Soekarno dan atribut-atribut revolusioner dari sistem ini sebagai sesuatu “yang sudah tidak diperlukan lagi”.

Putri Anne Blak-blakan Belum Bisa Move On dari Arya Saloka?

Kaum kanan sangat khawatir, karena Soekarno telah memberikan kepada PKI kemungkinan hidup, dan bahkan pada waktu-waktu tertentu telah menyebabkan PKI dan ormas-ormas kiri menjadi kuat, juga telah memberikan semangat kepada mereka dalam aksi?aksi melawan “kabir” dan tuan tanah, aksi?aksi yang bisa lepas dari kontrol.

Ditunjukkan juga usaha?usaha Bung Karno untuk mencoba membatasi kaum kanan, yang telah berhasil membentuk sebuah front anti?Soekarno yang kuat dengan dukungan material dari apa yang disebut “dinasti ekonomi”.

Masa Penahanan Siskaeee Diperpanjang Polisi

Dengan makin bertambah kuatnya blok golongan kanan, maka pengambilan kekuasaan negara ke tangan mereka sendiri telah menjadi suatu keharusan. Perdamaian sementara atas dasar kompromi tidak bisa berjalan langgeng lagi. Bom waktu konfrontasi antara dua kekuatan telah berdetik.Tinggal menunggu dalam bentuk apakah ia akan meledak, atau mencari dalih untuk meledakkannya.

Mengenai Peristiwa 30 September, para penulis mencoba mengutarakan kejadiannya secara kronologis dan kelihatan lebih condong kepada kata?kata Bung Karno ketimbang tuduhan-tuduhan pimpinan AD.

Diutarakan misalnya bahwa beberapa jam sebelum Untung mengeluarkan pernyataannya yang membubarkan pemerintah, Soekarno yang pada waktu itu berada di Halim telah menolak menandatangani “Seruan Kepada Rakyat” yang mendukung “G-30-S” yang disodorkan oleh Suparjo.

Pria Ini Belajar Mengemudi Bermodal Lihat Youtube, Hasilnya Mobil Hancur Tabrak Tembok

Akan sangat menarik diikuti dari waktu ke waktu akibat fatal dari “G?30?S” dalam kehidupan politik Indonesia sampai terjadinya klimaks perlawanan militer kepada presiden resmi di negeri ini.

Dianalisa bahwa mengetahui adanya dukungan masyarakat luas kepada Soekarno, khususnya di Jateng dan Jatim, dan juga dukungan dari kalangan militer (AL, AU, Polisi, dan sebagian AD), maka pimpinan militer¬baru belum berani mengadakan perlawanan langsung.

Menurut penulis, mereka mencoba merebut kekuasaan presiden dengan jalan damai, dengan tekanan, intimidasi, penggerakan massa, demonstrasi, penggunaan mahasiswa (KAMI) dan pemuda (KAPPI) untuk turun ke jalan dengan dukungan dari AD yang berpakaian preman ataupun berseragam. Ini berlangsung cukup panjang, hampir 3 tahun.

Perlawanan Bung Karno kepada “orba” akan bisa diikuti dalam 2 bab terakhir: “Saya Masih Tetap Presiden” dan “Akhir Perjalanan”. Akan nampak bahwa Bung Karno adalah sosok besar yang sangat cinta persatuan, tidak mau menggunakan kekuatan kasar untuk mempertahankan kekuasaannya.

Membaca saat-saat konfrontasinya dengan lawan-lawan politik sebangsanya, kadang¬kadang kita secara naif bertanya kenapa Bung Karno tidak hijrah ke Surabaya, atau ke mana saja pokoknya ke luar dari Jakarta, sarangnya para pendiri “orba”.

Padahal Bung Karno sendiri, karena mangkelnya kepada ”KAMI” dan “KAPPI”, sering mengatakan bahwa Jakarta bukan Indonesia, untuk menunjukkan bahwa aksi¬aksi brutal mereka itu dilakukan oleh hanya segelintir orang saja kalau dibandingkan dengan jutaan pemuda?pemuda dari Sabang sampai Merauke.

Mungkin karena Bung Karno percaya kepada kata¬kata lawan politiknya yang menjanjikan pemilihan umum pada tahun 1968? Sebab Bung Karno sendiri sempat berkata, kalau urusan diselesaikan dengan pemilu, beliau yakin akan mendapat dukungan rakyatnya. Bung Karno siap kapan saja melaksanakan pemilu untuk membuktikan siapakah yang benar?benar didukung oleh rakyat Indonesia.

Tetapi para pendiri “orba” tidak berani mengadu nasib, pada tahun 1968 mereka mencabut hak Soekarno untuk melakukan kegiatan politik, dan ini pun belum cukup, pemilu ditangguhkan sampai tahun 1971. Itulah bukti kekhawatiran para pendiri “orba” kepada dukungan rakyat Indonesia (bukan Jakarta, yang sudah dikuasai militer!) kepada Bung Karno.

Bung Karno memang tidak menghendaki perang saudara, walaupun ia mampu mengobarkannya. Ia mau berjuang sendiri untuk menegakkan kembali apa yang telah lolos dari tangannya dengan korban sekecil mungkin. Ia menggunakan kedudukannya sebagai presiden yang sah untuk melakukan perlawanan politik, dengan menggunakan pidato-pidato kepresidenan.

Salah satunya adalah pidato beliau tentang masalah apa yang dikenal sebagai “supersemar”, di mana beliau menandaskan bahwa surat perintah itu bukan merupakan pelimpahan kekuasaan negara, tetapi hanya merupakan tugas-tugas praktis dalam bidang keamanan dan ketertiban.

Namun, pidato dan perintah-perintahnya pada waktu itu sudah dilecehkan oleh para bawahannya. Pidato-pidato presiden sejak peristiwa 30 September 1965 seyogyanya harus dinilai sebagai sumber otentik bagi sejarah Indonesia periode itu, sejajar dengan sumber-sumber lain.

Dengan semboyan menegakkan “demokrasi” untuk membunuh “demokrasi terpimpin”, lawan-lawan politik Bung Karno telah membalik arah jalannya Revolusi Indonesia. Mulai saat itu yang “memegang kendali kereta Indonesia di seberang jembatan emas kemerdekaan” bukanlah para pemimpin rakyat yang sejati, tetapi adalah mereka-mereka yang, menurut istilah Bung Karno, “bukan kaum marhaen”, sehingga rakyat hanya mendapat “getah” tanpa menikmati “nangkanya”.

Para penulis memberikan penilaian yang sangat tinggi kepada Bung Karno sebagai seorang pemimpin,pejuang kemerdekaan yang telah mengantarkan rakyatnya ke pintu gerbang kemerdekaan, Soekarno sebagai pejuang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk mengejawantahkan cita-citanya untuk mencapai Indonesia yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, berdasarkan prinsip Pancasila, bersih dari pengeksploitasian atas manusia oleh manusia lain.
 
Seperti mereka tulis, tidak ada sesuatu yang bisa menghapuskan jasa?jasanya. Soekarno menjadi milik negerinya tidak hanya pada masa tempo doeloe, tetapi juga masa kini dan masa-masa yang akan datang. Di dalam ingatan bangsa Indonesia dan seluruh pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, Soekarno terabadikan sebagai orang yang telah mengabdikan seluruh kehidupannya kepada perjuangan suci, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tanah air.

Dan memang begitu. Hanya bangsa yang besar, mampu melahirkan putra-putri terbaik seperti Bung Karno yang menduduki tempat yang sangat terhormat di dalam sejarah dunia. “Walaupun Soekarno sepenuhnya adalah putra Indonesia asli—kata para penulis—namun adalah tidak tepat untuk menilainya hanya sebagai fenomena yang khas Indonesia. Penelitian mengenai pemikiran¬pemikiran serta kiprahnya yang jelas-jelas telah keluar dari batas sejarah Indonesia.”

B. Soegiharto, Ph.D., penerjemah Soekarno: Politicheskaya Biografiya

Buku dapat dipesan di:
Toko Buku Ultimus
Jl. Rangkasbitung 2A, Bandung, 40272
Telp./Faks. (022) 70908899, 7217724
ultimus_bandung@yahoo.com This e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it
www.ultimusbandung.info
Contact Person: Bilven - 08122456452

Logo Media Bersama

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya