Sri Sultan Dinilai Terlalu Ekspresif


VIVAnews – Deklarasi Sri Sultan atas kesiapannya menjadi calon presiden (capres) dalam Pisowanan Agung, 28 Oktober 2008 dinilai terlalu ekspresif. Sri Sultan justru terlihat meninggalkan tradisi Jawa.

Pengakuan Erick Thohir dan PSSI soal Kinerja Shin Tae-yong

Demikian salah satu kesimpulan yang mengemuka dalam Talk Show yang digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di gedung DPD, Jakarta, 31 Oktober 2008 dengan pembicara Fachri Ali, pengamat politik, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR Ali Masykur Musa dan wakil Ketua DPD La Ode Ida.

Menurut Fachri Ali, kemunculan Sri Sultan terlalu ekspresif. “Ada adagium dalam bahasa Jawa yang berbunyi setiap ucapan raja tidak boleh sembarangan atau terlalu ekspresif karena ucapan-ucapannya akan menjadi pegangan dan hukum bagi rakyatnya,” katanya.

Medco Energi Resmi Divestasi Seluruh Sahamnya di Ophir Vietnam Block 12W B.V

Sedangkan tradisi kebangsawanan atau priyayi adalah mereka yang tidak memperlihatkan sedikit pun keinginan dianggap lebih luhur, karena semakin memperlihatkan keinginan maka akan dipandang semakin egois.

Menurut Fachri Sri Sultan menjadi terlalu ekspresif dalam menyampaikan pandangan dan pendapatnya. “Bagaimanapun Sultan penguasa atau raja yang paling efektif di jawa, padahal di jawa ada beberapa kerajaan lain namun hanya Sri Sultan HB IX dan X dianggap masyarakat Jawa sebagai pemelihara tradisi dan simbul-simbul Jawa,” katanya.

Polres Malang Bongkar Home Industry Sabu di Jatim

Menurut penilaian Fachri Ali, Pisowanan Agung adalah perbenturan antara sistem demokrasi dengan tradisi kerajaan, terlebih hal tersebut dilakukan setelah pertemuan dengan raja-raja se-Nusantara.

Menurut Ali Masykur Musa, Sri Sultan melahirkan konsep demokrasi modern dan terlihat akan meninggalkan konsep tradisi kerajaan Jawa. “Targetnya justru meninggalkan tradisi Jawa, buktinya pertama Sultan menjawab pertanyaan rakyatnya bahwa dia mau jadi capres,” katanya.

Kehadiran Sri Sultan bisa diterima namun juga bisa tidak oleh orang Jawa. Namun kalau pun jadi presiden, Sri aSultan bukan representasi Jawa. “Tetapi karena diterima oleh masyarakat republik ini, kalau tidak jadi presiden pun bukan berarti Jawa kalah,” katanya.

Sultan pernah menyatakan dirinya adalah raja yang lahir setelah zaman revolusi dan Indonesia merdeka.

Menurut La Ode Ida, majunya Sri Sultan sebagai capres perlu didukung, karena sebagai gubernur Sri Sultan tahu seluk beluk pengelolaan daerah dan ke depan pemimpin Indonesia tidak bisa spekulatif mengelola daerah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya