Aba Mardjani

Terapkan Denda Kerja Sosial

Sejujurnya, harus diakui, Indonesia adalah bangsa yang tidak pandai belajar dari sejarah bangsanya sendiri. Juga tidak dari negara-negara tetangganya. Atau, apalagi dari bangsa-bangsa dari negara lain yang secara geografis terletak jauh di belahan dunia lain.

Salah satu contoh adalah bagaimana Hillary Clinton yang telah berjuang selama 16 bulan, menghabiskan dana ratusan juta dolar AS, pada akhirnya harus mundur dari pencalonan Partai Demokrat dan kemudian berbalik mendukung Barack Obama untuk bertarung melawan kandidat dari Partai Republik. Padahal, selama kampanye, perolehan suara Clinton tidaklah jauh berbeda dengan Obama.

Artinya, jika hal itu terjadi di Indonesia, boleh jadi Clinton akan mendirikan sebuah partai lagi sebagai kendaraan baru yang diyakininya bisa membawanya ke Gedung Putih. Tak aneh jika di Indonesia, Pemilu 2009 akan diramaikan oleh puluhan partai yang pasti sangat membingungkan calon pemilih.

Itu contoh dari panggung politik yang mungkin saja kurang korelatif jika dikaitkan dengan dunia olahraga, khususnya sepakbola. Apalagi jika konteksnya diarahkan pada  bagaimana belakangan ini kasus hukuman seumur hidup yang diterima sejumlah pemain PSIR Rembang, mengundang banyak pro dan kontra.

Tapi, contoh dari panggung lapangan hijau pun tak kalah banyak. Lewat siaran-siaran live sepakbola Liga Italia, Liga Inggris, Liga Spanyol, Liga Jerman, atau Liga Jepang di sejumlah TV swasta, para penonton sebenarnya bisa melihat bagaimana setiap pemain sangat menghormati fair play, memainkan sepakbola sesuai dengan koridor
sportivitas. Dan, setiap kali mendapatkan hukuman, mereka pun mengekspresikan protes dengan cara-cara layaknya orang yang berpendidikan.

Sesekali memang terjadi hal-hal yang melebihi batas. Tapi, tetap dalam frame rasa hormat satu sama lain. Sulit ditemukan kasus perilaku berlebihan terhadap wasit, yang notabene kepanjangan tangan FIFA yang harus memimpin jalannya sebuah pertandingan, karena para pemain umumnya sangat memahami risiko yang bakal mereka tanggung jika hal itu mereka lakukan. Sepakbola adalah periuk nasi mereka dan karenanya mereka takkan merusakkannya dengan tangan mereka sendiri.

Kembali pada pro dan kontra kasus hukuman seumur hidup terhadap pemain PSIR Rembang yang dijatuhkan Komisi Disiplin PSSI. Wajar jika ada yang setuju dan ada yang tidak. Sangat bergantung dari sudut pandang masing-masing, termasuk juga latar belakang masing-masing.

Warga Rembang atau fans PSIR sangat wajar jika menganggap hukuman itu terlalu berat karena sudah menyangkut periuk nasi pemain dan keluarganya. Tapi, yang pasti, hukuman memang harus diterapkan sesuai dengan eskalasi permasalahannya masing-masing.

Tanpa bermaksud menyudutkan ketiga pemain PSIR yang jadi terhukum, buat kita adalah bagaimana seharusnya setiap pecinta sepakbola dan khususnya para pemain bisa belajar dari kasus-kasus yang muncul di lapangan. Jika memang keputusan Komdis kali ini tak bisa diubah menjadi, misalnya, hukuman "sekian" tahun, mudah-mudahan itu jadi yang terakhir.

Tak boleh lagi terjadi pemain atau wasit, atau siapa pun yang terlibat dalam sebuah pertandingan, pulang dengan wajah babak belur karena kasus pengeroyokan. Atau bahkan tewas seperti kasus suporter Persitara beberapa waktu lalu.

Kemudian, sebagai sebuah masukan kepada Komdis PSSI, maraknya sanksi terhadap pemain dan tim, denda puluhan juta yang harus ditanggung klub atau pemain, ke depan hukuman bisa dibuat lebih variatif. Apalagi, saat ini, banyak tim mengalami krisis dana sehingga hukuman berupa denda tak sepenuhnya menyelesaikan masalah.

Menag Ingatkan Umat Islam soal Perjuangan Politik Pemilu 2024 Sudah Selesai

Lebih-lebih terhadap pemain yang belum menerima gaji. Denda berupa uang hanya akan membuat mereka lebih merana.

Variasi denda itu, misalnya, berupa kerja sosial seperti diterapkan di beberapa negara di sejumlah cabang olahraga seperti bola basket. Dengan hukuman berupa kerja sosial, pemain yang kena denda diwajibkan, misalnya, memberikan semacam coaching clinics di sekolah-sekolah atau SSB-SSB pada masa jeda kompetisi.

Sanksi seperti itu, meski katakanlah tak mengurangi eskalasi kekerasan di lapangan hijau, ada manfaat yang bisa dipetik komunitas sepakbola di sekolah-sekolah atau SSB-SSB, selain tentu saja tak merugikan pemain secara finansial.

Denda berupa uang baru diberlakukan jika pemain bersangkutan mangkir dari kewajiban bekerja sosial dalam periode tertentu sesuai dengan hukuman yang diberikan Komdis.

Lepas dari itu, tentu saja, yang harus segera dibenahi PSSI adalah bagaimana menghapus kesan wasit selalu memberi keuntungan bagi tuan rumah. Wasit-wasit yang terlihat secara kasatmata melakukan tindakan seperti itu wajib diberikan hukuman yang bisa menimbulkan efek jera.

Selama para pemain belum memiliki trust kepada wasit yang bertugas, selama itu pula tindakan-tindakan tak terpuji terjadi di lapangan. Tinggal kualitasnya saja yang mungkin berbeda-beda.


Aba Mardjani
Wartawan GOSport
adrian_kur@yahoo.com

Ulasan dan analisis Aba Mardjani bisa Anda ikuti setiap hari di harian olahraga GOSport.


Terpopuler: Hasil Apik Timnas Indonesia U-23, Anthony Ginting Tembus Olimpiade 2024
Honri Boma EV

Mobil Listrik Ini seperti Replika Alphard Mini, Harga Murah Meriah

Toyota Alphard menjadi mobil MPV premium dengan bodi bongsor, kini ada mobil yang mereplikanya dengan ukuran lebih kecil. Yakni, mobil listrik Honri Borna asal China.

img_title
VIVA.co.id
10 April 2024