KDRT Tahun Ini Meningkat

VIVAnews - Pandangan bahwa perempuan merupakan warga kelas dua masih menghambat penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut menyebabkan diskriminasi hukum terhadap perempuan yang menjadi korban atau bahkan pelaku KDRT.

"Misalnya ketika perempuan menjadi tersangka, tidak ada pertanyaan mengenai motif, malah dibilang 'berani-beraninya melakukan itu', sementara saat menjadi korban, dianggap wajar saja mengalami kekerasan," kata Koordinator Layanan Publik Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Sri Nurherawati dalam jumpa pers soal refleksi akhir tahun di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Rabu 31 Desember 2008.

Sri menyayangkan praktek diskriminasi ini masih belum dapat diatasi. Selain diskriminasi, hambatan penghapusan KDRT juga terletak pada penanganan kasus KDRT yang tidak menggunakan analisa hukum berkeadilan gender. "Juga belum dipahaminya Undang-undang Penghapusan KDRT sebagai hukum yang bersifat khusus atau lex specialis," kata Sri.

Pendampingan korban KDRT saat menjalani proses hukum, menurut Direktur LBH APIK Estu Rakhmi Fanani, juga mengalami banyak hambatan. Antara lain dari lingkungan, tokoh masyarakat, dan ancaman pelaku. Sementara dari segi hukum, konsep pendampingan yang belum umum juga tersandung. "Banyak yang menilai pendamping hanya membuat rumit," kata Estu.

Sepanjang 2008, LBH APIK menerima 254 laporan kasus KDRT yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Jumlah tersebut meningkat dari laporan pada 2007 yaitu 216 kasus.

Dalam data LBH APIK, pelapor umumnya menerima lebih dari satu jenis KDRT. Kekerasan psikologis dialami hampir semua pelapor, antara lain berupa cacian, poligami, dan perselingkuhan. Selain itu pelapor juga mengalami KDRT berupa kekerasan fisik berupa pukulan, sundutan rokok, dan sebagainya, dan KDRT berupa pemaksaan hubungan seksual atau hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki. Banyak pelapor yang juga mengalami kekerasan ekonomi, yakni tidak dinafkahi.

"Kekerasan yang dialami perempuan adalah bukti kegagalan pemerintah dalam perlindungan perempuan," tutur Sri.

Kejahatan rumah tangga ini paling banyak terjadi pada perempuan berusia 36 hingga 45 tahun. Sri menampik bahwa KDRT paling sering menimpa perempuan dengan tingkat pendidikan dan penghasilan rendah. "Sebagian kasus terjadi pada sarjana, dan keluarga berpenghasilan menengah, antara Rp 1 hingga Rp 5 juta," kata Sri.

4 Pelaku Terorisme Moskow Ternyata di Bawah Pengaruh Obat-Obatan Terlarang
Gedung Kemenkopolhukam

Kemenko Polhukam Susun Rencana Bangun Sistem Pertahanan Semesta di IKN

Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menggodok rencana membangun sistem pertahanan semesta di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024