VIVAnews – Sebanyak 575 Anggota DPR RI hasil Pemilu 2019 sudah dilantik pada Selasa, 1 Oktober 2019. Mereka akan bekerja untuk periode 2019-2024. Tak menunggu lama, jajaran pimpinan DPR pun langsung disusun. Seperti prediksi, Puan Maharani didapuk jadi ketua DPR. Puan akan didampingi tiga wakil ketua, yakni Aziz Syamsuddin (Golkar), Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (PKB) dan Rachmat Gobel (NasDem) sebagai wakil Ketua DPR.
Komposisi pimpinan DPR dan Puan sebagai nakhodanya tak meleset dari prediksi banyak orang dan pengamat politik. Sebagai partai pemenang Pileg 2019, PDI Perjuangan merasa layak mendapat posisi paling penting dalam struktur anggota dewan. Sementara DPD dipimpin oleh La Nyala. Mantan Ketua Umum PSSI ini akan didampingi Nono Sampono, Mahyudin dan Sultan Bachtiar.
Puan adalah lulusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Ia terlibat sebagai pengurus DPP PDIP bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga periode 2010-2015. Puan pertama kali berkompetisi pada Pemilu pada 2009. Ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif mewakili PDIP di daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah V yang meliputi Surakarta, Sukoharjo, Klaten dan Boyolali. Puan sukses meraih 242.504 suara dan ditempatkan di Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, pangan, maritim, dan kehutanan.
Pemilu berikutnya, tahun 2014 di Dapil yang sama, Puan menang dengan memperoleh 369.927 suara. Ia kemudian ditempatkan di Komisi VI DPR yang membidangi industri, investasi, dan persaingan usaha. Tapi kemudian Puan bergabung dengan Kabinet Pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan kabinet 2014-2019. Tahun ini Puan kembali berkompetisi dalam Pileg. Ia menjadi caleg dengan perolehan suara paling tinggi, yakni 404.034 suara.
Di DPD, terpilihnya La Nyalla menjadi kejutan. La Nyalla menang voting dengan perolehan suara 47. La Nyalla termasuk kontroversi. Mantan Ketua PSSI itu sempat menjadi tersangka kasus kasus dugaan korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur tahun 2011 hingga 2014 sebelum akhirnya divonis bebas. Ia juga pernah memberikan pengakuan diminta mahar sebanyak 40 miliar oleh Gerindra untuk menjadi cagub Jawa Timur. La Nyalla juga mengaku pernah berkontribusi memfitnah Jokowi melalui tabloid Obor Rakyat.
Tapi pekan ini, Puan Maharani dan La Nyalla terpilih untuk memegang posisi strategis di Senayan. Dua orang dari partai koalisi pendukung Jokowi berhasil menguasai jabatan bagus. Sebuah langkah yang diprediksi akan mengamankan Jokowi selama masa jabatannya di periode kedua.
Lobi Alot Ketua MPR
Kemarin sedianga posisi pimpinan MPR akan disusun. Berbagai lobi dilakukan guna mengamankan kursi pimpinan MPR. Kuat dugaan partai koalisi pendukung Jokowi akan berusaha merebut kursi pimpinan MPR. Tapi pada Rabu sore, pemilihan pimpinan MPR diputuskan untuk ditunda.
Berdasarkan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terbaru, pimpinan MPR terdiri dari perwakilan seluruh fraksi di DPR dan satu unsur dari DPD. Untuk periode DPR 2019-2024, ada total 9 fraksi. Dengan demikian pimpinan MPR untuk periode ini ada 10. Sedianya, Rabu malam, 2 Oktober 2019, akan digelar sidang untuk memilih Ketua MPR. Namun acara tersebut akhirnya ditunda. Pemilihan pimpinan MPR RI akan diadakan pada Kamis, 3 Oktober 2019.
Tak semulus pemilihan pimpinan DPR RI dan DPD RI, proses pemilihan ketua MPR berlangsung alot. Sejak siang Partai Golkar sudah bersikukuh partainya harus menempatkan kadernya di sana. Partai berlambang beringin itu memandang pemerintahan Jokowi perlu keseimbangan antara eksekutif dan legislatif. Menurut Golkar, sebagai pemenang terbesar kedua kursi legislatif, Golkar berhak mendapatkan posisi tersebut.
"Ini soal proporsionalitas di dalam menentukan siapa calon Ketua MPR, karena kita tahu Partai Golkar adalah partai pemenang kedua. Yang kedua, saya kira ini penting menjadi catatan bahwa MPR ini sangat penting dalam konteks bagaimana mengawal pemerintahan Jokowi ke depan," kata Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 2 Oktober 2019.
"Jadi ini adalah bagian dari insentif politik yang harus didapatkan oleh Partai Golkar. Karena sebagai pemenang kedua harus dipastikan bahwa ini adalah dimiliki oleh Partai Golkar," ujarnya menambahkan.
"Lembaga yang bisa memastikan bahwa proses konstitusionalitas bagi terkawalnya, terjaganya pemerintahan Pak Jokowi ke depan itu betul- betul dipastikan. Karena apa? Karena kewenangan MPR juga kan menjadi lembaga yang bisa membuat pemerintahan ini, misalnya sekarang ini ada pihak-pihak yang mencoba untuk menjatuhkan pemerintahan Pak Jokowi. Dan saya kira harus dipastikan bahwa partai koalisi Jokowi ini harus solid untuk memastikan Golkar bisa menjadi Ketua MPR," ujarnya menambahkan.
Golkar mengusung Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR. Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Zainudin Amali, mengatakan pihaknya sudah membangun komunikasi dengan sejumlah fraksi di DPR. Hal itu dilakukan untuk memuluskan langkah Bambang Soesatyo.
"Kalau ini komunikasi bagus, saya yakin bisa musyawarah mufakat," kata dia.
Pesaing Golkar ada Partai Gerindra. Kader Partai Gerindra Ahmad Muzani yang digadang menjadi Ketua MPR belum menghitung dukungan terhadapnya untuk posisi tersebut, kecuali dari anggota fraksinya. Ia mengaku tak 'mupeng' (muka pengen) terhadap posisi tersebut.
"Kita enggak mupeng-mupeng amat lah," kata Muzani di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu 2 Oktober 2019.
Ia mengungkapkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto memang berharap ketua MPR berasal dari Gerindra. Apalagi ada sejarah setiap ketua MPR selalu diduduki sosok di luar pemerintahan. "Paling tidak kan ada sejarah Pak Taufik Kiemas, ada Pak Zulhas, tapi kalau ternyata nanti teman-teman berpikiran dan berpendapat lain, ya nanti saya tidak tahu," kata Muzani.
Menurutnya, negara besar harus dikelola bersama-sama dari eksponen dan kekuatan politik. Sebab dalam proses bernegara, harus ada cita-cita kebersamaan.
Selain Gerindra, Partai Amanat Nasional juga mengincar posisi ketua MPR. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno mengatakan partainya mengusulkan sang ketua umum Zulkifli Hasan untuk menjabat salah satu wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara soal posisi ketua MPR, PAN menunggu arahan dari Zulkifli.
"Sejauh ini yang kami ajukan namanya Pak Zulkifli Hasan. Saya masih melakukan pembahasan internal (soal Ketua MPR), bersama Pak Ketua Umum Pak Zulkifli Hasan. Nanti kita menunggu arahan beliau," kata Eddy di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.
Ketua MPR, Posisi Tersisa
Direktur Eksekutif Indonesia Politican Review Ujang Komarudin menilai rebutan posisi Ketua MPR seperti yang terjadi sekarang ini bukan karena posisi tersebut diminati. Tapi perebutan terjadi karena memang itu kursi yang tersisa.
"Posisi Ketua DPR sudah terkunci dan sudah diatur dalam UU MD3 bahwa partai pemenang Pemilu lah yang mendapat jatah ketua DPR. Jadi sudah tidak ada perebutan posisi Ketua DPR. Sedangkan posisi Ketua MPR diperebutkan itu karena tidak diatur siapa dan partai mana yang akan mendapatkan jatah. Pemilihannya berdasarkan paket. Jadi berebut. Karena rebutan inilah dianggap diminati," tutur Ujang kepada VIVAnews, Rabu, 2 Oktober 2019.
Menurut Ujang, soal siapa yang terpilih antara kader Golkar atau Gerindra, tergantung dari siapa yang mampu meyakinkan fraksi-fraksi. Siapa saja bisa terpilih, tergantung dari lobi-lobi diantara mereka.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research dan Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai sebaiknya Ketua MPR diberikan kepada Gerindra. Hal ini untuk memunculkan minimal keseimbangan dalam sistem demokrasi.
"Kalau ketua DPD La Nyalla, Ketua DPR itu Puan, faksi pemerintah tambah kalau ketua MPR itu Bamsoet. Secara citra, simbol keseimbangan tidak terlihat direbut semua oleh faksi pemerintah," kata Pangi kepada VIVAnews, Rabu, 2 Oktober 2019.
Pangi menambahkan sistem demokrasi yang baik perlu ada perbedaan pandangan dari oposisi. Ia menilai antara DPD dengan DPR saat ini suaranya diprediksi sama yaitu kemungkinan tak ada kritik kebijakan pemerintah. Dia mengingatkan demokrasi yang baik membutuhkan kubu penyeimbang. Hal ini penting untuk lima tahun ke depan pemerintahan Jokowi.
"Sebaiknya Ketua MPR diberikan ke Gerindra, kalau dikuasai faksi pemerintah akan menjadi buruk. Karena perlemen itu harus berbicara dan berkata-kata. Berbeda suara dengan pemerintah itu akan menjadi vitamin," kata Pangi.
Pangi meyakini, saat ini terjadi deadlock antara Golkar dan Gerindra, namun ia memahami bisa saja ada deal politik sebelumnya di internal Golkar. Bamsoet tidak jadi bertarung dengan Airlangga Hartato dengan barter Ketua MPR otomatis milik Bamsoet. Sekarang bagaimana Golkar dan Gerindra menyelesaikan dengan konsensus soal perebutan kursi panas pimpinan MPR
Menurut Pangi, posisi Ketua MPR adalah posisi strategis, wajar jika menjadi rebutan. “Jabatan ketua MPR jelas jadi perebutan karena prestisius, previlege banyak, dapat rumah dinas, fasilitas keamanan, tunjangan dan lain lain, dan bisa juga dipakai untuk menaikkan bergaining partai, posisi ketua MPR tetap seksi dan kursi panas yang diperebutkan partai,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari justru menyambut baik pimpinan DPR yang baru. Dia melihat komposisi pimpinan DPR yang baru menyiratkan wajah DPR ke depan yang teduh dan tenang, mengingat profil para pimpinan yang tidak kontroversial seperti periode sebelumnya.
“Tidak ada sosok konfrontatif seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon,” kata Qodari kepada VIVAnews, Rabu sore 2 Oktober 2019.
Qodari melihat, sosok Puan bakal menjembatani komunikasi antara DPR dan Presiden dengan baik, karena keduanya berasal dari PDIP. Puan Maharani juga dapat menjadi “Jembatan kebangsaan” antar partai politik di DPR sebagaimana Taufiq Kiemas, ayahnya yang menjadi mentor politik Puan.
Qodari berharap, Puan dapat menjadi dirigen yang baik bagi produk legislasi DPR yang sering dikritik karena selalu di bawah target. Soal legislasi, Qodari menyarankan tiga hal, pertama target legislasi harus realistis.
Hal Kedua, DPR kerjasama dengan eksekutif karena sumber daya manusia di kementerian lebih banyak daripada di DPR sehingga lebih banyak yang bekerja. Ketiga, perlu manajemen legislasi undang-undang yang kontroversial. Jangan ditumpuk diawal atau diakhir seperti DPR periode sebelumnya.
“Perlu dipecah-pecah dalam lima tahun ke depan, kalau ditumpuk akan sulit mengelola tekanan politiknya,” kata dia.