Eva Kusuma Sundari

Biasa Ditekan

Hari itu, telepon yang digenggam Eva Kusuma Sundari tiba-tiba dapat kiriman pesan singkat. Datang dari orang tak dikenal, isinya mengejutkan anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pornografi.  “Pesan itu isinya mengatakan kok kami tidak Islami.” katanya.

PSSI Tempuh Jalur Tak Normal Supaya Nathan Tjoe-A-On Bela Timnas U-23 Indonesia di Perempat Final

Tekanan semacam itu kerap diterima Eva ketika RUU Pornografi masih dibahas parlemen. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat itu tidak takut. Justru yang dirisaukan adalah persepsi kelompok masyarakat yang menganggap dia dan teman-temannya di Fraksi PDIP sebagai antiagama.

Sikap kritis terhadap rancangan itu, kata Master di Bidang Ekonomi Pembangunan Universitas Nottingham, United Kingdom, itu, dianggap mengganggu ajaran agama tertentu. Eva maklum, dan menganggap mereka tidak memahami substansi rancangan. Hanya saja dia menyesalkan sikap yang disampaikan fraksi lalu dikaitkan isu suku agama ras dan antargolongan.

Cerita Unik Muzakki Ramdhan Tentang Menyatu dengan Reza Rahadian di Film Siksa Kubur

Tiap kali menerima pesan berisi provokasi, anggota parlemen asal daerah pemilihan Jawa Timur ini selalu menjelaskan duduk soalnya. Landasan sikap Fraksi PDIP di parlemen agar penerbitan UU itu tidak memicu masalah baru, sebaliknya mengakomodir aspirasi masyarakat Indonesia.

“Saya agak nyesel juga kemudian rencana UU itu dianggap perjuangan agama,” kata kandidat Doktor di bidang Administrasi Publik Universitas  Padjadjaran, Bandung itu.  “Harusnya itu untuk semua, bukan pemaksaan nilai kelompok.”

eSIM Bagian dari Mengurangi Jejak Karbon

Sikap FPDIP di parlemen tujuannya mengakomodasi hak perlindungan perempuan dan anak. Namun, itu semua ditanggapi emosi oleh barisan pendukung RUU.

Eva yang kini ikut maju ke pemilihan legislatif mewakili daerah pemilihan Jawa Timur zona 6 mengatakan kelompok itu tidak paham substansi pasal perpasal. “Mereka tidak obyektif melihat masalah,” katanya. “Itu sebabnya sikap rasional FPDIP ditanggapi emosional. “

Nyatanya sikap Eva dan anggota parlemen lainnya didukung masyarakat di sejumlah daerah. Misalnya Yogyakarta dan Bali. Hanya saja dukungan itu tidak reaksional seperti yang ditunjukan kelompok proundang-undang itu.

                                            +++++

Ide RUU Pornografi itu muncul di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. Perancangnya adalah Majelis Ulama Indonesia. Mula-mula ingin dikenalkan ke parlemen melalui jalur pemerintah.

Namun, Megawati yang diusung PDIP itu menolak menerbitkan Surat Presiden. Surat itu penting karena berguna untuk pengantar pemerintah agar rancangan dibahas parlemen.

Tidak lama setelah penolakan itu, inisiator untuk membawa ke parlemen berubah. Strateginya berikutnya lewat jalur inisiatif dewan. Rancangan itu kemudian masuk dari Komisi VIII. Promotor utamanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Rancangan itu resmi masuk parlemen pada 2005. Mulai dari sini kontroversi timbul.

Eva yang  pernah mengajar di Universitas Airlangga itu mengatakan kontra muncul karena isi RUU Pornografi mencampuri urusan pribadi anggota masyarakat. Misalnya ikut mengurus tata cara berpakaian. “Dan pornografi itu seolah-olah hanya milik perempuan saja,” kata Eva.

Rancangan itu diskriminatif terhadap perempuan dan tidak melindungi anak.”Itu tentu tidak sesuai dengan aturan negara hukum.” kata dia. “Isunya saat itu tidak boleh ada penyeragaman.”

Reaksi keras FPDIP itu ditanggapi DPR. Lalu, dewan minta rancangan direvisi. Di situ, Eva masuk tim perumus RUU. Setelah tahap perumusan selesai, rancangan direvisi bersama pemerintah. Ketika itu FPDIP mengajukan 39 butir keberatan. Sebab fraksi ini melihat banyak sekali yang tidak sempurna di sana.

“Tapi mereka kejar tayang,” kata anggota Dewan Pengurus Pusat PDIP yang menangani soal ideology itu. Keberatan yang diajukan FPDIP tidak menjadi referensi revisi.

Hasil perbaikan masuk ke Panitia Kerja. “Ternyata pada saat di Panja, metode pembahasan gelondongan,” kata dia. Dikatakan gelondongan karena keberatan yang diajukan FPDIP tidak tidak ikut dibahas. “Kami dibohongi,” kata Eva. “Padahal kami ingin integrasikan HAM, diskriminasi perempuan dan perlindungan anak harus tegas.”

Pembahasan rancangan itu, menurut Eva, mengalami problem prosedural. Sikap FPDIP didukung Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Damai Sejahtera. Kedua fraksi minta supaya pembahasan tetap sesuai aturan main. Selanjutnya FPDIP memutuskan keluar Panja RUU Pornografi.

Pro kontra masih terjadi ketika Panja munculkan revisi kedua. Menurut Eva, DPR dan pemerintah mengatakan RUU Pornografi itu sebagai masalah moral. Sedang FPDIP menilai rancangan ini mengandung tindak kiriminal.

Panja meminta FPDIP masuk lagi untuk perbaikan. Pergolakan tetap muncul di sana. Singkat cerita, DPR tetap mengesahkan RUU itu menjadi UU. Seluruh anggota FPDIP dan FPDS keluar (walk out) dari sidang paripurna itu.

Eva mengatakan persoalan utama di UU itu paradigma dan logika mengenai pornografi terlalu campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat.

Begitu rancangan itu diketok palu, sejumlah lembaga masyarakat yang masuk barisan penentang UU Pornografi akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya