VIVAnews – Susunan Anggota DPR RI periode kerja 2019-2024 mengejutkan publik. Politikus Partai Golkar, ?Meutya Hafid terpilih sebagai Ketua Komisi I DPR RI. Komisi ini terkenal sebagai komisi yang maskulin, karena memiliki lingkup tugas di bidang pertahanan keamanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelijen.
Mantan jurnalis ini dikenal luas oleh publik setelah ia dan rekannya juru kamera Budiyanto diculik dan disandera oleh sekelompok pria bersenjata ketika sedang bertugas di Irak. Setelah melalui negosiasi, tiga hari kemudian Meutya dan Budiyanto dibebaskan.
Meutya memulai debutnya sebagai anggota DPR RI sejak tahun 2010. Awalnya ia menggantikan seorang angota dewan dari Partai Golkar yang meninggal dunia. Tapi sejak itu karier Meutya, yang pernah menerima Elizabeth O'Neill Award dari pemerintah Australia moncer. Kiprahnya sebagai politisi makin dikenal publik. 2012, nama Meutya terpilih sebagai salah satu dari lima tokoh pers inspiratif pilihan Mizan, sebuah penerbit buku terkenal.
Kini, di usia yang baru 41 tahun, Meutya menduduki posisi yang sangat strategis. Dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pekan lalu, nama Meutya semakin moncer karena pertanyaannya yang kritis melalui interupsi yang ia sampaikan kepada Prabowo.
Kepada VIVAnews yang melakukan wawancara khusus dengan Meutya, ia mengakui masa sekarang, menjaga pertahanan negara menjadi lebih sulit. Pasalnya, harus mengombinasikan dua sistem pertahanan sekaligus. Pertama sistem pertahanan untuk mengatasi perang konvensional dan harus siap untuk menghadapi perang modern atau perang siber.
Berikut wawancara khusus VIVAnews dengan Meutya Hafid:
Apakah Anda memiliki concern dan passion di Komisi I?
Iya. Jadi memang selain passion tentu pengalaman juga ya. Karena memang hampir selama dua periode saya kemarin, dan ini periode ketiga saya di DPR, saya banyak ditugaskan oleh partai di Komisi I. Jadi pertimbangan partai tentu itu juga, berdasarkan pengalaman. Karena untuk menjadi ketua komisi tentu harus ada passion dan pengalamannya. Kebetulan saya juga dulu di dunia pers atau jurnalis yang berhubungan dengan Komisi I. Jadi ya tahu juga sedikit tentang masalah konflik, pertahanan juga, dan juga kebetulan saya juga konsen di luar negeri, karena waktu jadi jurnalis saya juga sempat di desk luar negeri.
Komisi I dianggap sebagai komisi yang berat karena mengurus pertahanan dan luar negeri. Apa benar. Tanggapan Anda?
Saya sepakat kalau dibilang berat. Karena memang Komisi I itu beragam. Kalau dulu ketika pembentukan komisi, mungkin cara pandangnya dari sudut pandang Polhukam saja, atau terkait dengan pertahanan dan keamanan negara saja.
Nah, kondisi hari ini sudah berbeda. Sekarang dunia komunikasi dan informatika sudah sangat luas sekali, sudah ada digital, perkembangan industri 4.0, itu juga bergantung dari kebijakan-kebijakan kita di Komisi I. Jadi memang luas sekali. Harus banyak membaca dan mengikuti topik-topik tersebut. Tapi yaitu, saya bersyukur punya bekal dua periode di sini, jadi bisa lebih mudah lah persiapannya ketika jadi ketua komisi.
Sejak didapuk jadi ketua Komisi I apa saja yang sudah Anda lakukan?
Lumayan nih, kita baru seminggu selesai pembagian komisi, kita sudah melakukan rapat internal kurang lebih dua kali. Rapat internal itu dilakukan untuk membahas agenda ke depan, agenda internal Komisi I. Kami di sini ada satu orang ketua, empat wakil ketua, dan anggota ada 52 orang anggota, jadi cukup banyak. Kita komunikasi di internal dulu apa yang kita lakukan. Seperti menyepakati siapa yang akan kita undang, isu apa yang akan kita angkat, kemudian undang-undang apa yang kita sepakati untuk kita bahas di periode ini, dan sebagainya.
Hari berikutnya langsung RDP dengan mitra kita. Pertama, Lembaga Sensor Film, karena kebetulan masa tugasnya sudah mau habis. Kita minta laporannya selama lima tahun. Lalu esoknya langsung kita rapat kerja dengan Menteri Kominfo, dan keesokannya kita juga melakukan raker dengan Panglima TNI dan jajarannya. Kemudian, kita akan melakukan kunjungan ke Papua. Jadi kita langsung akan berangkat ke Papua dan Papua Barat, ada dua tim yang berangkat.
Apa agenda yang akan dilakukan di Papua?
Kami kemarin sudah melakukan rapat bersama Panglima TNI, ada masukan terkait isu yang terjadi di Papua, yang tidak semuanya bisa saya share. Tapi kita tahu bahwa tanggal 1 Desember itu biasanya selalu ada eskalasi ketika jelang ulang tahun OPM. Kita berharap mudah-mudahan tidak ada apa-apa, tapi sebagai wakil rakyat perlu ada keberpihakan terhadap isu Papua.
Kunjungan kerja pertama Komisi I, untuk melihat langsung kondisi keamanan di Papua. Di samping itu poin kedua, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Sehingga nanti apakah yang disampaikan oleh Panglima TNI, atau nanti ketika kita rapat dengan Menteri Pertahanan kita juga tahu, apakah benar seperti itu keadaannya. Jadi kita lakukan fungsi pengawasan. Karena fungsi DPR selain legislasi dan budgeting, ada fungsi pengawasan. Salah satu cara melakukan fungsi pengawasan, kita juga harus tahu kondisi langsung di sana seperti apa.
Agenda di sana nanti, kita akan bertemu dengan pemerintah daerah yang kabarnya akan mempertemukan kita dengan tokoh-tokoh masyarakat di sana, kemudian nanti kita kunjungan ke Kodam untuk langsung melihat bagaimana kondisi di sana, dan persiapan antisipasi-antisipasi keamanan di Papua.
Meutya Hafid (tengah)
Sebenarnya apa sih yang melatarbelakangi Papua itu terus bergejolak?
Kalau kita bicara Papua ini memang sangat panjang. Pertama kan memang ada kondisi sejarah yang seolah-olah Papua ini diperlakukan berbeda dengan daerah-daerah yang lainnya di Indonesia. Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan suku bangsa, budaya, dan perbedaan itu seharusnya menyatukan dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur Indonesia. Tapi ada dalam satu dua konteks seperti yang terjadi di Aceh dulu, termasuk di Papua sekarang, perbedaan itu ditajamkan dan dianggap sebagai satu persoalan bahwa ada perlakuan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jadi memang ada sejarah seperti itu dulu.
Kedua, memang betul bahwa di sana pembangunannya sekian lama tidak sama dengan daerah-daerah yang lain di Indonesia, tapi sekarang Pak Jokowi kan sedang berusaha mengejarnya. Tentu kelalaian kita di masa lalu pasti ada akibatnya di masa saat ini, dan itu menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Sebab, yang seharusnya kita lakukan dari dulu, tertumpuk, terbengkalai, sehingga sekarang kita mengejarnya terlalu jauh.
Ketiga, tentu selalu ada orang di luar kita, artinya di luar negara kita yang akan senang melihat Indonesia memiliki masalah-masalah seperti ini. Saya yakin sekali banyak pihak luar yang kemudian tepuk tangan ketika ada isu-isu yang terkait dengan dinamika-dinamika yang terjadi di Papua, atau Papua Barat.
Siapa yang Anda maksud?
Tanpa menunjuk hidung ke siapa, tapi faktor-faktor ini semuanya menjadi satu. Jadi kita tidak bisa bilang bahwa yang terjadi di Papua itu karena faktor luar, tidak. Kita harus akui bahwa kita juga punya PR di dalam. Tapi kita juga tidak bisa bilang bahwa ini murni urusan dalam negeri, tidak. Karena kita tahu ada gerakan-gerakan di luar negeri yang berusaha memisahkan Papua dari Indonesia dengan cara mempropagandakan Papua Merdeka. Nah ini kemudian menjadi kompleks karena berjalan sudah terlalu lama, dan tidak tertangani dengan baik selama ini. Sehingga sekarang ini kita menjadi sangat serius menghadapi isu Papua ini.
Tapi, saya selalu tekankan bahwa pendekatan kemanusiaan harus nomor satu. Mereka bagian dari kita dan akan selalu begitu, insyaaallah sehingga minimal sekali upaya penegakan hukum tetap berjalan. Seperti kita tahu yang terjadi kemarin, ketika terjadi tindakan kriminal, harus tetap ada upaya penegakan hukum. Tapi tetap pendekatan dialogis, pendekatan kultural, itu menjadi nomor satu dalam menghadapi masalah di Papua.
Bagaimana menangani ‘campur tangan’ eksternal dalam kasus Papua?
Untuk faktor internal, sekarang sedang kita upayakan terus dikejar. Pembangunan di Papua terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Tapi jangan lupa, sekarang yang kita lakukan selain mengejar ketertinggalan pembangunan di Papua, kita juga secara bersamaan melakukan upaya penyelesaian isu yang terjadi di sana. Jadi upaya pembangunan terus berjalan, tapi upaya pendekatan keamanan juga jalan. Jika dibutuhkan, polisi termasuk tentara kita disiagakan di sana. Sekali lagi, jika dibutuhkan, karena pendekatan militeristik harus menjadi opsi terakhir. Itu semua dibarengi juga dengan upaya diplomasi yang dilakukan oleh negara kita dengan negara-negara lain, dan itu semua harus dilakukan berbarengan dan kompak, tidak bisa tidak bersamaan.
Caranya?
Jadi misalnya, dalam diplomasi dengan luar negeri, kita harus bisa menyampaikan pembangunan yang sudah kita lakukan, begitu terus kita lakukan. Seperti yang kita lakukan di PBB, misalnya, ketika ada yang mengangkat isu Papua, perwakilan kita di New York ketika itu menyampaikan pembangunan-pembangunan yang sudah dilakukan di Papua, dan itu harus masif. Jadi tidak hanya di PBB, negara-negara yang ada komunitas-komunitas kecil di dalamnya itu "mendukung" Papua Merdeka, sekali lagi mereka hanya komunitas kecil yang mengatasnamakan negara di luar Indonesia. Karena kalau ditanyakan ke negara lain secara resmi atau kelembagaan, tidak ada satu negara pun yang menyatakan mendukung Papua Merdeka, tapi ada kelompok-kelompok di negara-negara tersebut yang mendukung itu. Jadi bukan pemerintahannya yang mendukung, cuma misalnya ada anggota parlemennya, NGO-nya yang di sana, sehingga memang upaya diplomasi luar negeri-nya juga harus dilakukan lebih masif lagi untuk itu.
Artinya selama ini pihak luar yang mendukung Papua pisah dari Indonesia itu bukan atas nama negara?
Tidak ada, tidak ada negara. Semua negara mengakui kedaulatan Indonesia. Hanya kelompok-kelompok kecil saja, seperti anggota parlemennya, tokoh-tokoh di negara tersebut yang namanya cukup populer, walaupun tidak memegang kekuasaan di negara itu.
Kerusuhan di Wamena, Papua
Apa yang dilakukan Komisi I untuk menyelesaikan masalah Papua itu di luar negeri?
Komisi I setiap kunjungan kerja ke luar negeri, kami selalu menyampaikan komitmen negara atau parlemennya untuk mendukung kedaulatan NKRI. Karena seperti yang saya katakan tadi, tidak ada sikap negara resmi ya yang berbicara tentang isu Papua, tapi kadang ada salah satu anggota parlemennya yaa, tidak atas nama negara tapi atas nama pribadi. Misalnya mengatakan ada pelanggaran HAM di Papua, nah kita selalu melakukan pendekatan-pendekatan tersebut.
Belum lama saya bertemu dengan salah satu anggota parlemen Inggris, dia fasih berbahasa Indonesia, namanya Graham. Ketika saya ke Inggris, saya bertemu anggota parlemen Inggris untuk berbicara secara khusus mengenai isu Papua. Hal-hal yang seperti itu pelan-pelan bisa mengikis persepsi yang salah yang terjadi di luar negeri. Kecuali mereka memang punya pretensi buruk terhadap Indonesia. Tetapi mereka yang di luar negeri, yang tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya di Papua, perlu kita berbicara kepada mereka. Dan kita melakukan itu, dan saya pribadi juga melakukan hal itu.
Selain itu?
Hal yang harus kita lakukan adalah bagaimana membentengi, misalnya lembaga-lembaga yang punya legitimasi misalnya PBB, pemerintah-pemerintah negara lain, ataupun anggota-anggota parlemen dari negara-negara lain yang mempunyai legitimasi untuk berbicara soal pelanggaran HAM di Papua. Tugas kita adalah terus menerus meyakini mereka bahwa apa yang terjadi di Indonesia tidak seperti apa yang mereka tangkap dari sepihak dari media massa, termasuk dari media di Australia yang menyatakan bahwa telah terjadi referendum di Papua, kan itu fatal sekali. Jadi saya harus sampaikan, salah satu faktor yang memperkeruh keadaan juga adalah media massa di Australia. Karena mereka menyebar luaskan informasi yang tidak benar terkait apa yang terjadi di Papua kemarin.
Ketua Komisi I Meutya Hafid
Apakah pemerintah perlu melakukan tindakan-tindakan khusus terkait hal itu?
Ada. Misalnya, kemarin menyampaikan protes resmi ke media Australia itu. Ada kok itu. Kementerian Luar Negeri sering kali melakukan itu kalau ada pemberitaan-pemberitaan miring soal Papua yang diberitakan oleh media asing.
Bagaimana Anda melihat upaya pemerintah dalam menangani konflik di Papua?
Upaya-upaya yang sudah dilakukan selama ini saya rasa tidak boleh stop sampai di situ saja. Jadi ketika saya katakan polisi atau pun tentara harus ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua, polisi tidak harus selalu turun dengan pendekatan penegakan hukum, dan tentara juga turun tidak harus selalu dimaknai dengan operasi militer.
Kita tahu polisi dan tentara itu bisa turun dengan melakukan pembinaan-pembinaan yang humanis dengan masyarakat di sana. Dan Tentara juga kita tahu ada program-program kegiatan militer selain perang. Misalnya ada program tentara membangun desa atau tentara manunggal di desa-desa. Jadi yang saya ingin highlight adalah ketika kita melibatkan polisi dan tentara di daerah konflik seperti Papua, itu tidak melulu menggunakan pendekatan hukum dan militer, ada banyak yang bisa dilakukan. Dan menurut saya itu inovasi-inovasi baru kalau itu bisa dilakukan atau digalakkan di sana itu, program TMMD itu. Jadi Tentara Manunggal bersama rakyat membangun desa di sana. Itu kan lebih humanis pendekatannya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua.
Bagaimana dengan kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya?
Kementerian lain juga harus berjibaku menyelesaikan persoalan-persoalan di sana. Karena kalau cuma pembangunan infrastruktur saja, saya mengapresiasi Pak Jokowi, tapi itu belum cukup. Pembangunan infrastruktur di Papua itu juga harus dibarengi dengan lini yang lain. Dan saya yakin Presiden juga sebenarnya menginginkan seperti itu, tapi karena belum bisa jalan bareng 100 persen, karena kadang-kadang antarkementerian belum semuanya bisa berkoordinasi dengan baik, makanya tadi saya sampaikan semua pihak, termasuk kementerian-kementerian semuanya harus kompak di sana.
Presiden Jokowi meninjau pembangunan Jalan Trans papua
Menurut Anda, sejauh ini, apakah yang sudah dilakukan oleh TNI di Papua sudah cukup bijak?
Susah untuk menilai ya. Saya mengambil salah satu contoh kasus di sana, apa yang disampaikan oleh Panglima TNI dan kita ketahui bersama juga bahwa banyak tentara kita yang menjadi korban atau dibunuh di sana oleh KKB secara brutal. Itu menurut saya hal yang perlu diapresiasi juga, tidak mudah dalam keadaan seperti itu menahan emosi, apalagi mereka juga punya senjata. Tapi kemudian tidak memperkeruh suasana dan menerima itu sebagai sebuah risiko dalam tugas. Dengan dinamika seperti kemarin, dan TNI kita itu bisa mengkontrol. Menurut saya itu cukup wise.
Dan perlu diketahui juga oleh masyarakat, sebenarnya masyarakat Papua itu menerima kok keberadaan Polri dan TNI di sana. Kalau insiden kemarin bisa dikatakan terjadi menjelang dinamika politik nasional, tapi selama ini saya rasa TNI dan Polri di sana sudah cukup bagus menjaga kondusifitas di sana. Karena sebelum terjadi insiden kemarin itu kan TNI dan Polri sudah lama berada di sana, dan tidak terjadi penolakan yang besar terhadap keberadaan TNI. Bahwa kemudian terjadi satu kasus yang kemudian membesar menjelang pemerintahan baru itu saya rasa ada dinamika di balik itu yang mendorong, sehingga belum bisa kita menyimpulkan bahwa ada kebencian masyarakat di Papua terhadap TNI kita di sana.