Subsitusi Pangan Jadi Solusi Krisis

VIVAnews - Mensikapi ekspektasi harga dan kemungkinan masa depan, konsumen mengandalkan dua cara dalam konsumsi. Konsumen bawah memilih mensubstitusi barang yang lebih murah serta mengurangi jumlah pemakaian. 

Sedangkan konsumen kelas menengah atas, keputusan mengurangi pemakaian barang mewah menjadi pilihan.

Perlambatan sektor produk ritel selama kuartal I 2009, menurut Pimpinan Riset PT Nielsen Indonesia Catherine Eddy, ditunjukkan dengan penjualan melandai. Kuartal I 2009, nilai penjualan sektor ritel barang konsumen yang bergerak cepat (FMCG) hanya tumbuh 8,1 persen menjadi Rp 24 miliar. Padahal 2008 lalu sektor ini tumbuh Rp 94,6 miliar, naik 21 persen dari 2007.

Pada kuartal I 2009, produk non makanan mengalami sedikit penguatan pertumbuhan daripada makanan. Pertumbuhan makanan hanya mencapai 7,6 persen. Sedangkan produk nonmakanan mencapai 9 persen. 

"Pertumbuhan nonmakanan disumbangkan produk perawatan, perawatan rumah tangga, dan farmasi," katanya.

Beberapa produk pengguna terakhir mengalami penurunan signifikan. Pertumbuhan konsumsi minyak goreng menurun tajam 16,4 dan volumenya anjlok 16,9 persen. Pertumbuhan negatif juga terjadi di sebagian kecil mi instan dan deterjen. "Alasannya konsumen menginginkan jumlah yang lebih besar dengan mensubtitusi dengan produk yang lebih murah," katanya. 

Substitusi diperkirakan lebih banyak terjadi pada kelas masyarakat bawah. "Untuk kelas bawah mereka mengganti ke barang yang lebih murah, mengurangi penggunaan dan mengurangi jumlah pembelian," katanya.

Penjelasan ini terlihat dari produk mie instan yang tumbuh negatif 9,1 persen dengan volume meningkat 4,8 persen. Produk deterjen tumbuh negatif 3 persen tetapi meningkatkan volume 14,2 persen. 

Adapun untuk menengah ke atas, harga memang penting, tetapi orang akan tetap menghabiskan uang untuk membeli barang premium dengan alasan jelas. Kemungkinan yang terjadi, kata Catherine adalah mengurangi frekuensi pemakaian barang-barang mewah, mengurangi jumlah pembelian, serta mengubah ukuran kemasan/pemakaian.  

Hal ini terlihat dari tingkat konsumsi teh, kopi, dan sebagaian besar konsumsi mi instan. Konsumsi dan volume kopi naik masing-masing 15 dan 21 persen, sementara untuk kategori biskuit volume mengecil 9,6 persen dengan nilai meningkat 10,6 persen. "Biasanya ini berkaitan dengan merek prestisius atau rasa sehingga konsumen hanya mengurangi pemakaian," tutur Catherine.

Demikian pula pemakaian produk perawatan dan produk perawatan wajah cenderung kaku untuk terjadi substitusi. "Kepuasan dan hubungan emosional lekat dengan konsumsi barang ini sehingga sulit mengganti dengan produk yang lebih murah," katanya.

Adapun untuk kebutuhan khusus seperti susu, menurut Catherine, yang terjadi bukan hanya secara fungsional, tetapi juga secara emosional. "Orangtua biasanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya," tuturnya mengulas alasan. Sehingga konsumsi untuk susu bayi biasanya berkaitan dengan jumlah nutrisi daripada merek. Ini pula yang menjelaskan produk susu meningkat baik dalam hal volume maupun pertumbuhan masing-masing 15 dan 2,9 persen.

Bagi para produsen, dia menyarankan, saat krisis penting untuk membangun pangsa pasar. Meskipun harga menjadi pertimbangan konsumen untuk barang premium, masih ada segmen yang akan membeli. 

Semua strategi perusahaan pada saat krisis akan meningkatkan keuntungan jangka panjang setelah krisis. "Jangan mengurangi biaya pemasaran, Perusahaan yang berhasil melewati krisis akan semakin kuat setelahnya," tutur Catherine.

Pemred tvOnenews.com, Jurnalis Pertama Indonesia Peraih Six Star World Marathon
Ilustrasi depresi

Memahami Depresi: Mengenali Tanda-Tandanya dan Cara Mencari Bantuan

Depresi adalah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang biasanya kita gemari.

img_title
VIVA.co.id
17 April 2024