Studi di Uni Soviet (Bagian I)

Saya Memilih Uni Soviet, Bukan Amerika

VIVAnews - Judul diatas dengan sengaja saya tampilkan untuk mencegah timbulnya kesan yang salah, karena apa yang dipaparkan dibawah adalah pengalaman pemulis sebagai mahasiswa di Rusia pada era Uni Soviet - yang pasti berbeda dari Rusia masa kini.

Studi di luar negeri memang cita-cita penulis untuk membebaskan diri dari beban orang tua. Saya menamatkan SMA Negeri di Malang pada tahun 1957 dan tanpa kesulitan mendaftar di Fakulteit Teknik Universitas Indonesia. Kemudian pada bulan Maret 1959 dirubah namanya menjadi Institut Teknologi Bandung. Perubahan nama ini diresmikan oleh Presiden Soekarno disaksikan tamu agung Ho Chi Minh.
    
Pada saat saya mulai mengikuti kuliah di Fakulteit Teknik UI,di Bandung masih cukup banyak dosen berkebangsaan Belanda. Karena saat itu Indonesia dibawah pimpinan Soekarno sedang giat-giatnya melawan kolonialis Belanda yang masih menduduki Papua Nieuwe Guinea,maka bahasa Belanda dinyatakan sebagai bahasa terlarang di Indonesia dan para dosen Belanda harus memberikan kuliah dalam bahasa Inggris.

Saya merasakan bahwa uang pensiun orang tua tidak mencukupi untuk membiayai kuliah 4 anak, kemudian menyusul 5  hingga 9 anak. Maka saya berusaha bebas dari beban orang tua. Penulis masih ingat bahwa uang pensiun orangtua adalah Rp. 1257 pada tahun 1957 dan setiap kali mengirim wesel ke Bandung, sebesar Rp. 300.

Timbul pertanyaan,”kalau saya dikirimi Rp. 300 lalu berapa untuk dua  kakak di Surabaya?”. Dari sini timbul keinginan minta ikatan dinas dari perusahaan minyak Satnvac,dan memang  dimungkinkan.Tetapi orang tua melarang, karena saya akan terikat setelah tamat. Satu-satunya jalan adalah pergi keluar negeri.

Saat ada pendaftaran ke Uni Soviet tahun 1959 saya langsung mendaftar dan diterima,tetapi ibu khawatir akan terjadi perang setelah pesawat mata-mata U2  milik Amerika tertembak. Berdasar pengalaman tahun 1959,maka saya mengulang pendaftaran pada tahun 1960 tanpa memberi tahu orang tua dan saat siap berangkat,  baru kirim telegram memberi tahu orang tua.

Saya harus menjalani masa persiapan berupa indoktrinasi di Tugu (Puncak) yang   diberikan oleh Jubir Usman (Usdek Manipol) Roeslan Abdoelgani dan Menteri PTIP Prof.Prijono serta mempelajari seni budaya Indonesia.

Saya menginjakkan kaki di Tashkent pada tanggal 14 Oktober 1960,hari pertama persinggungan dengan sistem sosialis di negara Uni Soviet. Tekad untuk kuliah di Uni Soviet merupakan keputusan bulat yang tidak bisa diusik. Saat dosen-dosen Belanda diusir dari Indonesia tahun 1958, sebagai gantinya datang dosen-dosen asing dari Colombo Plan (perjanjian dengan Kanada, Australia dan Selandia Baru - negara-negara British Commonwealth) dan Kentucky Contract Team.

Terjadi pula perubahan sistem ujian,kalau dengan dosen Belanda berlaku tata-tertib yang terkesan kaku, ujian lisan satu persatu menghadap dosen dan harus mengenakan baju putih lengan panjang, sedangkan dengan dosen-dosen Amerika berubah sama sekali. Ujian tertulis dengan sistem pilihan berganda, lebih sederhana dan luwes.

Memang pada saat itu timbul pertanyaan dalam benak,  mengapa di negeri sendiri kok harus kuliah dalam bahasa Inggris? Sekarang kalau kuliah di universitas swasta dengan dosen asing pasti mahal biayanya.

Saat saya menyampaikan niat untuk belajar ke Uni Soviet,seorang dosen Amerika Prof.Charles D Hoyt menyarankan untuk studi ke Amerika saja.  "Mengapa tidak di Amerika saja,saya akan bantu agar anda dapat beasiswa!"

Saya menjelaskan bahwa pilihan ke Uni Soviet bukan tanpa dasar. Pertama, saya di jurusan Pertambangan harus memilih menjadi insinyur tambang, insinyur perminyakan atau insinyur metallurgi ? Saya memilih metallurgi karena Indonesia akan membangun pabrik baja pertama di Cilegon dengan bantuan Uni Soviet.

Saya yakin terhadap industri baja Uni Soviet karena mereka telah meluncurkan Sputnik pertama didunia tahun 1957, pasti industri logam mereka bermutu tinggi. Dosen Amerika tersebut memberi sebuah buku berjudul "Inside Russia today" tulisan  John Gunther yang terkenal dengan sederet buku "Inside-...nya" (China,Afrika,Latin America).

Setelah tamat membaca buku itu, saya tetap memilih Uni Soviet sebagai tujuan belajar dan dosen Amerika tersebut bisa memahaminya. bersambung..

Mau Lebaran, Dua Kepala Sekolah Malah Jadi Tersangka Korupsi PPPK di Langkat
Stefano Pioli dan para pemain AC Milan

AC Milan Jangan Gegabah Ganti Pioli dengan Conte

Masa depan Stefano Pioli bersama AC Milan masih belum ada kejelasan. Sempat beredar kabar jika dia takkan lagi menjadi pelatih di musim depan.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024