Serangan Israel ke Gaza

Cerita dari Gaza

VIVAnews - SISA kebrutalan itu masih terlihat di depan sekolah Al-Fakhoura, di Jalan Jabaliya, Jalur Gaza, Palestina. Bangunan sekolah itu lumat diterjang bom Israel. Hanya puing teronggok berantakan. Di sela remahan beton, kawat-kawat  besi mencuat telanjang. Siang itu, di depan reruntuhan, sejumlah lelaki menggelar salat berjamaah, Kamis 9 Januari 2009 lalu.

Mereka duduk bersimpuh, dan menadahkan tangan ke langit dengan mata sayu. “Berapa lagi yang harus mati, ya Tuhan,” ujar seorang lelaki. Sudah dua pekan Israel menyerang Gaza.  Puluhan jet tempur meliuk-liuk di udara. Di darat, armada tank tempur Israel merangsek masuk ke pemukiman warga. Langit malam terang oleh semburat api roket dan mortir. Bau mesiu merambat ke tiap sudut rumah.

Pada Selasa pekan lalu, tiga tank Israel melintas di Jabaliya itu. Ketiganya mengarahkan laras meriam ke sekolah Al-Fakhoura. Tank itu menyalak, dan sekolah Al-Fakhoura, milik Perserikatan Bangsa-Bangsa itu pun rontok. Sejak agresi militer Israel ke Gaza pada 27 Desember lalu, tempat itu  menjadi barak penampungan pengungsi. Bulan Sabit Merah setempat mencatat 43 warga Palestina tewas, 150 lebih luka-luka.

Di seberang sekolah, ada rumah keluarga Amal Deeb. Bom juga menghajar rumah perempuan usia 30an itu. Dia tamat bersama sembilan anggota keluarganya. “Dari celah reruntuhan tampak gumpalan adonan roti siap panggang,” ujar Eva Barlett, relawan Bulan Sabit Merah setempat. Rupanya, keluarga itu lagi menyiapkan makan malam, sebelum bom jatuh pada petang naas itu. Bau darah di reruntuhan, kata Eva yang mengunjungi tempat itu Kamis pekan lalu, begitu menyengat.  

Apa yang dicari Israel? Direktur UN’s Relief and Works Agency (UNRWA) John Ging membantah tudingan tentara Israel bahwa di barak ada gerilyawan Hamas bersembunyi. Kata Israel, sekolah itu jadi tempat Hamas melontar mortir dan roket ke pemukiman warga Yahudi.  “Staf saya menjamin tak satu pun ada kombatan di tempat pengungsi itu,” ujar Ging.

Titik koordinat GPS (global positioning system) tempat itu, kata Ging,  telah diserahkan ke tentara Israel agar tempat itu tak menjadi target militer. “Harus ada penyelidikan independen atas hilangnya nyawa warga sipil di sini,” ujarnya. Israel mengatakan mereka menemukan dua  “aktor Hamas” di antara korban tewas.



AGRESI militer Israel itu mengagetkan dunia. Pada hari pertama serangan, Israel memburu sejumlah target mililter dan sipil Hamas di Gaza. Sebelumnya, angkatan udara Israel menyerang target strategis. Antara lain, pusat komando, instalasi keamanan, termasuk menghancurkan pos polisi dan basis sayap militer Hamas, Brigade Izzaddin al-Qassam. Tak luput,  15 kamp pelatihan, kapal serta fasilitas dermaga, juga tempat produksi roket Hamas, berikut gudang penyimpanannya.

Al Mezan, lembaga hak asasi manusia berbasis di Gaza, mencatat sampai pekan kedua, 771 warga Palestina  tewas.  Mereka umumnya adalah warga sipil, termasuk 189 anak-anak dan 58 perempuan. Jumlah korban diperkirakan terus meningkat hingga 800 sampai memasuki pekan ketiga, Sabtu, 10 Januari 2009. Israel kehilangan 13 serdadu. Angka itu tercatat sejak mereka melancarkan serangan darat sepekan lalu. Sebelum itu, Israel menggempur Gaza lewat udara.

Tapi, bagaimanakah cerita sepotong tanah seluas 360 kilometer per segi di tepi  Laut Tengah itu terus berkecamuk dalam derita? 

Kisah Gaza adalah cerita panjang perjuangan Palestina.  Daerah di tepi laut itu kaya sumber air. Sepanjang 62 kilometer daratannya adalah perbatasan dua negara, yaitu Israel  51 kilometer, dan Mesir 11 kilometer.  Daerah ini dulunya bagian Palestina, yang dikendalikan Inggris sesuai mandat Liga Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I. 

Ketika  kaum Yahudi imigran di kawasan itu mendeklarasikan negara Israel  pada 1948, mereka mencaplok sebagian wilayah Palestina. Pada masa konlflik itu,  Mesir lalu menguasai Jalur Gaza.  Kawasan itu lalu menjadi  pilihan bagi pengungsi Palestina, yang datang dari kota-kota pantai, sampai utara pedalaman.  Umumnya, mereka menetap di kamp penampungan PBB sampai sekarang.

Israel mencaplok Gaza dari Mesir pada 1967, dan memindahkan 8.000 warga Yahudi untuk menetap di sana.  Sejak itu perlawanan atas pendudukan Israel meningkat tajam, dengan ketegangan naik turun.  Jalan keluar bagi konflik Israel-Palestina muncul  pada 1993, ketika Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel sepakat meneken perjanjian pengaturan pemerintahan sementara bagi warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. 

Negosiasi berjalan alot sampai pecah gerakan Intifada pada September 2000. Saat itu, Israel mencaplok kembali sejumlah wilayah Palestina.  Baru pada 2003, Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan PBB, berhasil menyodorkan peta jalan damai mengakhiri konflik. 

Innalillahi, King Nassar Berduka Ayahanda Meninggal Dunia

Di tengah kritisnya perundingan, pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada akhir 2004. Posisinya digantikan Mahmud Abbas dari Fatah, sebagai Presiden Otoritas Palestina. Pada tahun itu juga, Israel dan Palestina sepakat menuju ke pembentukan dua negara, Israel dan Palestina yang demokratis. Itu sebabnya, pada 2005, Israel setuju menarik pasukan dan warganya dari wilayah Palestina.

Pada Januari 2006 Hamas menang pemilu legislatif dan menguasai Gaza.  Tapi, masyarakat internasional menolak mengakui pemerintah bentukan Hamas. Soalnya, Hamas tak mau mengakui Israel, dan tetap menganjurkan jalan kekerasan, serta menihilkan hasil perdamaian Israel dan Palestina.

Ketegangan Hamas dan Fatah pun kian tajam. Buntutnya, kedua kekuatan itu bentrok pada akhir 2006 dan awal 2007. Korban berjatuhan.  Keduanya  berdamai lewat Perjanjian Mekkah pada Februari 2007, dan membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional Palestina (NUG), yang dipimpin tokoh Hamas Ismail Haniya.

Tapi, di Jalur Gaza kondisi tetap panas.  Pada Juni 2007, Hamas merebut semua perangkat militer dan lembaga pemerintah di Jalur Gaza.  Akibat aksi itu, Mahmud Abbas membubarkan Pemerintahan Persatuan Nasional, dan membentuk Pemerintahan Palestina di Tepi Barat, yang dipimpin tokoh independen Salam Fayyad.

Hamas menolak pembubaran, dan meminta perundingan dengan Fatah. Tapi,  Abbas menolak tawaran itu kecuali Hamas mengembalikan kendali pemerintahan Jalur Gaza ke Otoritas Palestina, dan mengakui pemerintahan Fayyad.  Selanjutnya, Abbas tetap  berunding dengan PM Israel  Ehud Olmert dan membebaskan sejumlah tahanan Palestina dari tangan Israel. Kedua pihak juga sepakat menuju pernjanjian final perdamaian pada akhir 2008.



DI Jalur Gaza pula, kehidupan sekitar 1,4 juta warga kini terancam perang yang panjang, dan terburuk selama satu dekade terakhir.  Israel memperketat blokade ekonomi di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas.  Suplai makanan dan peralatan medis sangat terbatas.  Inilah alasan utama Hamas melontarkan roket Qassam ke wilayah Israel.  Lingkaran setan ini menjadi kian sulit dipecahkan. Hamas mengatakan akan menghentikan serangan roket kalau Israel membuka blokade. Sementara Israel menuntut sebaliknya.

Hamas yang punya hubungan dekat dengan Suriah dan Iran, tampaknya tak kekurangan senjata. Mereka membentuk terowongan bawah tanah untuk menembus blokade, dan mengirimkan senjata ke basis-basis perlawanan di kota.  Tercatat sejak 2001, ada sekitar 8,600 roket Hamas menghajar wilayah Israel. Dari angka itu, sekitar 6.000 dilontarkan sejak Israel mundur dari Gaza pada 2005.

Gencatan senjata mulai dilakukan pada Juni 2008, dan berakhir 19 Desember lalu. Tapi, selama gencatan senjata itu, ketegangan tak berhenti. Hamas mengatakan, Israel ingkar janji, karena tak pernah membuka perbatasan yang dikuasainya, serta terus melanjutkan operasi militer terhadap tokoh Hamas. Sementara Israel mengatakan Hamas terus menyerang wilayahnya, dan melontarkan roket yang membahayakan warga Yahudi di Israel.



SERANGAN Israel ke Gaza kini memasuki pekan ketiga. Tak ada tanda konflik segera berakhir.  Dewan Keamanan PBB di New York mengeluarkan Resolusi 1860,  pada Kamis, 8 Januari 2008. Dewan Keamanan menyerukan gencatan senjata segera dan langgeng di Jalur Gaza. Amerika Serikat abstain dalam resolusi itu. Celakanya, resolusi hanya menepuk angin. Kedua pihak tetap saling baku hantam.

Sampai Sabtu 10 Januari 2009, Israel terus menekan Gaza dengan serangan roket sepanjang malam. Sekitar 40 serangan udara dilakukan di sekujur Jalur Gaza dengan target fasilitas militer Hamas. Sementara Hamas, meski menghadapi pertarungan tak seimbang, masih mampu melontarkan roket ke Israel.
 
Perang itu tertutup bagi wartawan internasional, kecuali mereka sudah berada di Jalur Gaza sebelum serangan perdana Israel meletus. Israel memblokir semua jalan masuk bagi wartawan internasional. Warga Gaza, seperti dilaporkan BBC,  melaporkan pesawat tempur Israel masih menyerang bangunan yang sudah kosong, dan berbagai tempat di Khan Younis, dan Beit Lahiya, serta Gaza City.

Hamas punya alasan sendiri menolak resolusi Dewan Keamanan itu.  Mereka merasa tak diajak bicara. Hamas juga meberikan garis tegas, bahwa semua perjanjian gencatan senjata harus memasukkan penghentian blokade ekonomi Israel di Jalur Gaza.

Musa Abu Marzuk, 58, salah satu wakil Polit Biro Hamas mengirim pesan dari Damaskus, Suriah. Kata Marzuk, yang pernah mendapat gelar doktor dari satu kampus di Amerika Serikat itu,  perjanjian damai mustahil jika Israel tetap membiarkan Gaza hidup dalam kelaparan dan tanpa obat-obatan.  “Blokade, pada akhirnya, adalah bentuk dari sikap perang,” tulis Marzuk lewat siaran pers dimuat di Los Angeles Times, 6 Januari lalu.

Marzuk juga menebalkan arti serangan Israel itu bagi rakyat Palestina. Dampaknya, kata dia, adalah bagi semua bangsa Palestina, entah Muslim, Kristen, kaum Kiri dan Kelompok Islam Jihad. “Perjuangan pembebasan nasional ini akan didukung oleh jutaan orang, yang mencari keadilan dan kebebasan,” tulis Marzuk lagi.

Tokoh Hamas itu seperti membantah upaya Israel yang ingin menjadikan serangan itu sebagai upaya mengisolir Hamas. “Bukan rakyat Palestina, melainkan kelompok Hamas yang kami incar,” ujar Duta Besar Israel untuk Singapura dan Timor Leste, Ilan Ben-Dov kepada VIVAnews melalui sambungan telepon internasional, Kamis siang 8 Januari 2009.

Serangan Israel tampak lebih dari sekedar kebutuhan “mempertahankan diri”.  Itu sebabnya, kemarahan meluas di Palestina sendiri. Kelompok Fatah turut berang. “Ini bukan krisis Hamas, ini krisis Palestina,” ujar seorang anggota parlemen Palestina dari kubu Fatah, Abdullah Abdullah, kepada VIVAnews lewat saluran telepon Jakarta-Yordania, Selasa pekan lalu.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz N. Mehdawi tak kurang geram. Dia melihat serangan Israel adalah cermin pertarungan politik internal di negara Yahudi itu. “Penyerangan ini punya dua tujuan," kata Fariz. Satu, dia dilakukan untuk mengembalikan citra militer Israel (yang pernah kalah di Libanon). "Artinya, Palestina menjadi ajang unjuk kekuatan tokoh politik Israel menjelang pemilihan umum," ujar Fariz kepada VIVAnews, Selasa dua pekan lalu. 

Setiap kali akan berlangsung hajat politik seperti pemilu, Fariz melanjutkan, pemimpin politik di Israel ingin menunjukkan kekuatan mereka dengan melancarkan serangan atas Palestina. “Mereka pikir kami adalah sasaran empuk agar mereka bisa menunjukkan kekuatan otot mereka. Inilah tujuan kedua mereka,” kata Fariz.

Di tengah blokade itu, sekitar 1,4 juta warga kini butuh makan dan obat-obatan. Israel tak bergeming, meskipun katanya mereka membuka koridor bantuan kemanusiaan. Serangan militer brutal berlangsung tiap jam. Kamis 8 Januari lalu, sejumlah tank Israel menembak konvoi tim UN's Relief and Works Agency (UNRWA). 

Dua pekerja sosial tewas, dan sejumlah aktivis kemanusiaan luka-luka dalam serangan gelap mata itu. “Kami memutuskan menunda semua operasi di Jalur Gaza karena meningkatnya aksi perlawanan,” kata Adnan Abu Hasna, juru bicara badan pekerja bantuan sosial bentukan PBB itu.

Kebrutalan, tampaknya akan terus memberat di Gaza.

Pengunjung Coba Kelabui Petugas Lapas Yogyakarta Simpan Pil Koplo di Betis, Malah Ketahuan

Artikel ini diperbarui Sabtu, 10 Januari 2009, 23:14 WIB.

Lihat juga: Esai Foto Setelah 15 Hari Serangan Israel ke Gaza

Pelaku Ditangkap, Begini Modus Sopir Taksi Online Todong Penumpang Rp 100 Juta
Peristiwa serangan teroris di Gedung Teater dekat Moskow, Rusia

100 People Still Missing in Moscow Concert Hall Attack

The final death toll from the Moscow concert hall terrorist attack could be much higher than the 140 confirmed dead, with Russian state investigations saying they have re

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024