Keseharian Anak-Anak di Bawah Serangan Israel

VIVAnews - Bila kita berusia di bawah 13 tahun dan selalu di bawah lindungan keluarga tercinta, segalanya bisa menjadi menyenangkan, walaupun hidup mengungsi di Jalur Gaza - wilayah yang terus-menerus dihajar bom dari pesawat dan meriam Israel. Namun ada juga anak-anak yang sudah trauma mendengar bunyi bom berjatuhan di dekat rumah mereka.

Itulah perasaan yang menimpa anak-anak Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Sudah delapan hari wilayah tersebut menjadi bulan-bulanan serangan militer Israel.
 
Reem al-Naraib, yang tengah mengandung selama enam bulan, dan suaminya, Sabah, terpaksa meninggalkan rumah bersama ketiga anak mereka - yang masing-masing masih berusia 12, 8, dan 6 tahun. Pasalnya, lingkungan mereka tinggal di Beit Hanoun, sebelah utara Gaza dan hanya berjarak dua setengah mil dari perbatasan Israel, telah menjadi sasaran tembak pasukan negara Zionis tersebut.

Minggu kemarin, 4 Januari 2009, mereka mengungsi di suatu flat tiga kamar di lantai empat suatu gedung di dekat pusat Kota Gaza. Mereka kini hidup tanpa air bersih, listrik, lampu, dan alat komunikasi kecuali sambungan telepon yang lebih sering putus.

Saat wartawan harian The Independent berbicara melalui telepon kepada Reem, sering terdengar suara yang gaduh. Anehnya, kegaduhan itu bukan karena suara ledakan bom, melainkan tawa anak-anak.

"Anak-anak saya, Alhamdulilah, tidak begitu takut," kata Reem. "Saat masih tinggal di rumah, suara bom sering terdengar, jadi mereka sudah terbiasa," lanjut Reem.  

"Mereka berlarian kejar-kejaran satu sama lain dan melompati perabotan. Suami saya juga berdongeng ke mereka. Cerita-ceritanya bagus, bukan cerita mengerikan mengenai orang-orang Yahudi, tapi dongeng anak-anak." Namun, entah sampai kapan keceriaan itu terus berlangsung saat kondisi di Gaza semakin buruk karena terus-menerus digempur Israel.

Anak-anak Reem masih bisa tertawa dan ceria di bawah lindungan ayah dan ibu mereka. Namun, tak sedikit anak-anak di Gaza yang sudah begitu ketakutan dengan serangan tentara Israel.

"Kami takut karena bisa mati kapan saja," kata Mohammed Ayyad, bocah berusia 11 tahun, seperti dimuat dalam laman stasiun televisi al-Jazeera. Ayyad rupanya masih trauma mendengar suara bom yang ditembakkan tentara Israel beberapa jam lalu - yang menghancurkan gedung-gedung milik kelompok Hamas, yang terletak di sebelah rumahnya di Gaza.   

Saudara Ayyad yang masih berusia enam tahun bernama Ahmad bahkan sampai kencing di celana. "Kami semua takut karena pesawat-pesawat [Israel] beterbangan di langit sepanjang waktu dan kita bisa mati kapan saja," kata Ayyad.

Seorang bocah lain bernama Mohammed Bassal mengaku bahwa dia dan saudara-saudaranya sampai gemetar mendengar bunyi ledakan di malam hari. "Debu dari jendela-jendela rumah yang sudah rusak berjatuhan di kepala kami. Sambungan listrik putus dan kami pun mulai berteriak," kata Bassal. "Ibu akhirnya datang dan memeluk kami," lanjut Bassal.

Saudaranya, Nidal yang berusia 12 tahun ikut menimpali, "Kami semua masih takut. Orang-orang Yahudi itu gila dan mereka tega kepada siapapun, bahkan kepada anak-anak," lanjut Nidal.



Gara-gara bombardir Israel, Reem mengaku dia dan keluarga kini biasa tidur di pagi hari. Artinya pola tidur mereka tidak normal. "Kami terus terjaga sepanjang malam karena Israel melipatgandakan pengeboman di malam hari. Kami menggunakan telepon untuk menanyakan kabar teman-teman dan tetangga. Kegiatan itu kini menjadi bagian hidup kami," kata Reem.

Mereka mengaku sering mendengar suara bom dan, tak lama kemudian, sirene ambulan. Dari balik jendela, terlihat kepulan asap, mungkin akibat ledakan bom. Namun mereka tak tahu darimana asap tersebut berasal.

"Kami ingin mendengarkan berita, namun tidak ada siaran berita. Bahkan para tetangga juga tidak tahu apa-apa. Masing-masing telah menutup pintu [flat] masing-masing. Memang benar-benar terjadi perang. Namun kami tidak tahu apa yang sedang terjadi," kata Reem.
 
Jalur Gaza sudah lama terbiasa dengan situasi serba kekurangan sejak Israel menerapkan blokade ekonomi. Namun sejak tank-tank Israel masuk ke Jalur Gaza Sabtu pekan lalu, 3 Januari 2009, penduduk di wilayah tersebut kini terancam kelaparan karena makin sulit mendapat makanan dan kebutuhan pokok lain.
 
Sementara itu di Tel Aviv, Israel, banyak relawan dokter dari perkumpulan "Physicians for Human Rights" sibuk bertelepon sepanjang hari. Mereka terus informasi apa yang bisa mereka lakukan di rumah sakit-rumah sakit di Jalur Gaza dan sekitarnya. Masalahnya, "Banyak sambungan telepon yang putus dan kalaupun ada yang berfungsi tidak bisa menghasilkan suara yang jelas," kata direktur tim relawan, Hadas Ziv.

Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi
Mahfud MD

Mahfud MD Blak-blakan Soal Langkah Politik Berikutnya Usai Pilpres 2024

Mahfud MD, buka-bukaan mengenai langkah politik dia selanjutnya, usai pelaksanaan dari Pilpres 2024. Mengingat mantan Menkopolhukam RI tersebut bukan kader partai politik

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024