Transdisiplinaritas

VIVAnews -Transdisiplinaritas itu adalah disiplin ilmu tanpa disiplin ilmu. Ini adalah tulisan pengalaman saya mengikuti seminar bersama Prof. Dr. Conny Semiawan, sebagai pencetus transdisiplinaritas.

Hormati Putusan MK, Eks Ketum PB HMI: Saatnya Bekerja untuk Indonesia Maju

Ibu Conny mengatakan transdisiplinaritas sudah merupakan keharusan, tidak ada satu disiplin ilmu yang dapat berdiri sendiri lagi, karena sekarang sudah dibutuhkan penggabungan dua atau lebih dari masing-masing disiplin ilmu.

Sudah tak zamannya lagi seorang ekonom, berbicara hanya dari satu sudut pandang. Ini harus dikembangkan, seseorang dengan latar belakang pendidikan ekonomi misalnya, dia juga harus tahu tentang kedokteran, sosial, hukum. Sehingga akan muncul kedewasaan berfikir, demikian kata Ibu Conny.

Brigjen Nurul Bicara Strategi STIK Lemdiklat Cetak Pemimpin Polri yang Mumpuni

Ada banyak para narasumber berbicara, menjelaskan berbagai macam teori pendidikan, ekonomi, sosial, psikologi, filsafat dan lain-lain, dengan rasa rendah hati, kami mohon maaf kepada yang disiplin ilmunya tidak disebut.

Bapak Dr. Imam Prasodjo dengan gayanya yang penuh humor, mengungkapkan, bahwa transdisiplinaritas seperti gabungan dari seluruh disiplin ilmu, tapi dia bukan multidisiplin, karena konsepnya adalah menyatukan antara dua, tiga dan lebih disiplin ilmu menjadi satu kesatuan.

Operasi Perdamaian Dunia, Mabes TNI Akan Kirim 1025 Prajurit Pilihan ke Kongo

Dikarenakan Ibu Conny adalah pelopornya, maka diharapkan Ibu Conny terus mengawal pengembangan transdisiplinaritas di Indonesia. Seperti induknya rayap, kalau induknya mati sebelum berkembang atau lahir induk baru, dikhawatirkan pengembangan transdisiplinaritas akan mati di Indonesia.

Banyak sekali pembicara yang menyampaikan pemikirannya pada saat seminar tersebut, namun dikarena keterbatasan saya, selaku peserta dengan latar belakang disiplin ilmu agama, yang konon kabarnya adalah disiplin ilmu yang kurang disiplin. Disebut kurang disiplin karena salah satu kriteria disiplin ilmu adalah empirik, sementara ilmu agama sulit untuk dibuktikan dengan empiris.

Bayangkan saja, ketika membahas tentang masalah negara ini, maka orang dari disiplin agama tidak diundang, selain takut memperlambat, juga khawatir tak nyambung dengan pembicaraan.

Saya bangga ikut seminar tersebut, dan juga bangga menjadi mahasiswa Ibu Conny di salah satu mata kuliahnya di Universitas Negeri Jakarta. Dengan seluruh dedikasinya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, rasanya sulit mencari gantinya.

Tapi, saya juga malu, karena saya termasuk mahasiswa yang banyak kurang mengerti tentang transdisiplinaritas tadi. Selain karena memang otak ini memang sudah kurang daya tangkapnya, karena sekelas pentium II, ditambah lagi dengan latar belakang agama yang memprihatinkan.

Padahal, menurut saya, disiplin ilmu agama adalah disiplin ilmu yang pertama dan tertua, karena landasan kita adalah taat perintah Tuhan. Waktu Nabi Adam diciptakan, sebelum ada Hawa, berarti belum ada ilmu sosial, dan belum ada uang, berarti belum ada ilmu ekonomi yang konsep dasarnya adalah cari untung, baik dengan cari membeli atau menjual, atau tukar tambah. Adam hanya disuruh jangan mendekati pohon khuldi, tak disuruh berpikir apa sebabnya dan mengapa, padahal berpikir adalah akar dari filsafat, berarti waktu itu filsafat selaku induknya ilmu, juga belum ada, tapi ilmu agama sudah ada.

Ilmu agama hanya berbicara bagaimana menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, bagaimana menjalankan hidup sesuai dengan aturan yang memang telah ditetapkan. Ilmu yang ada setelah ilmu agama adalah politik, karena setelah itu, setan menggunakan seluruh daya upaya untuk menjatuhkan manusia dari surga ke dunia, itu sepertinya ilmu politik, saling menjatuhkan dan ingin menang.

Transdisiplinaritas memang sudah mesti diterapkan dalam kehidupan, seperti seorang dokter memeriksa pasien. Bukan hanya menggunakan diagnosa, anamnesa, melihat hasil laboratorium, terus langsung menulis resep tanpa tahu dan tak mau tahu keadaan ekonomi sosial pasien.

Saat menulis resep, yang diberikan obat paten semua dari produk mahal, tak diberi yang generik atau murah. Dokter itu tak punya kecerdasan sosial, untuk mengetahui latar belakang seseorang, riwayat hidup yang akan sangat mempengaruhi kesehatan pasien tidak pernah mau dilihatnya.

Oleh karena itu, keangkuhan dari suatu disiplin ilmu, yang menganggap ilmunyalah yang paling baik dan yang paling menentukan, harus sudah dikikis. Tembok tinggi pembatas antar disiplin ilmu, harus sudah mulai diruntuhkan.

Kita bersama dalam mengembangkan kemajuan masyarakat, tanpa harus memaksakan pendapat, berjalan bersama akan lebih nikmat, dengan sedikit menurunkan ego kita.

Waktu sesi tanya jawab dibuka, saya berniat bertanya, namun dikarenakan banyaknya orang yang mengangkat tangan untuk bertanya, maka saya urungkan niat untuk bertanya. Apalagi saya termasuk orang dalam, termasuk dekat dengan pembicara kunci, jadi bisa ditanya kalau kapan-kapan ketemu.

Saya hanya ingin bertanya, diantara banyak disiplin ilmu yang memang punya bahasa istilah dalam mengungkapkan sesuatu, dan biasanya sudah dibakukan. Untuk menyatukannya perlu kebesaran hati dari masing-masing kita, tak perlu kecewa dan sakit hati. Seperti ungkapan terjadinya penyatuan dua pihak, kalau bahasa sosialnya akulturasi, bahasa orang kedokteran dikawinkan, bahasa tekniknya blended, kalau bahasa sederhananya kawin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya