VIVAnews – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, meluapkan emosinya saat berbicara di ILC bertema "Kontroversi RKUHP" yang ditayangkan tvOne Selasa malam, 24 September 2019. Ini setelah mendengar klaim dari perwakilan mahasiswa soal materi Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dia nilai beberapa klaim dari mahasiswa salah kaprah soal RKHUP, yang akhirnya ditunda untuk disahkan oleh Paripurna DPR setelah mendapat permintaan dari Presiden Joko Widodo dan keberatan dari masyarakat.
"Saya juga dulu aktivis seperti adik-adik. Jadi kalau saya dulu mau berdebat, saya baca dulu itu barang sampai sejelas-jelasnya baru saya berdebat," kata Yasonna dalam talkshow yang dipandu Pemimpin Redaksi tvOne Karni Ilyas itu.
"Kalau ini saya, jujur, malu terhadap apa yang saudara sampaikan. Malu lah, nggak baca, kasih komentar dengan orang-orang di ILC. Saya sampai tutup mata tadi," lanjut Yasonna kepada para perwakilan mahasiswa yang turut urun pendapat di acara itu.
Dia menunjukkan salah satu klaim yang salah kaprah adalah bahwa RKUHP itu ada pasal yang menyatakan bahwa perempuan yang jadi korban perkosaan juga dihukum terkait kasus aborsi. Yasonna menegaskan RKUHP itu tidak lah seperti demikian.
Dia pun mengingatkan bahwa ada Undang-undang Nomor 36/2009 tentang kesehatan pasal 75 - terutama pada ayat 2 - bahwa larangan aborsi (yang dinyatakan pada ayat 1) dapat dikecualikan berdasarkan, salah satunya, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Menurut dia, undang-undang 36 tentang Kesehatan itu, dalam istilah hukumnya, sebagai lex specialis derogat legi generali (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)).
"Jadi itu adik-adik kalau mau berdebat, baca baik-baik, siapkan diri baik-baik, baru komentar. Jangan nanti mempermalukan diri sendiri," kata Yasonna.
Lalu, soal klaim gelandangan akan dihukum penjara seperti yang diatur dalam RKUHP, Yasonna menyatakan itu juga tidak benar. Justru KUHP saat ini menyatakan bahwa gelandangan bisa dikenakan hukuman badan atau pidana.
"Sekarang itu diubah menjadi denda. Kalau tidak mampu denda...bisa dimungkinkan dia hukum kerja sosial, bisa dimungkinkan dia untuk dididik. What's wrong with that?" ujar Yasonna.
Dia pun kecewa dengan tudingan bahwa RKUHP ini produk hukum yang muncul tiba-tiba. "KUHP ini zaman Indonesia merdeka, sudah 74 tahun. Kalau dihitung dari zaman Belanda sudah 126 tahun dan ini sudah dibahas oleh tujuh presiden," ujar Yasonna, yang pada Juni 2015 mengajukan lagi RKUHP ke DPR.
Dia mengingatkan, waktu pembahasan tingkat pertama selesai, Professor Muladi sebagai ketua tim penyusun draft mulai mengeluarkan air mata. "Kami sudah membayar utang kami kepada profesor-profesor kami dan guru-guru kami sebelumnya. Ini adalah perjuangan panjang anak-anak bangsa untuk menggantikan hukum kolonial," ujar Yasonna. Selengkapnya bisa dilihat pada tayangan di bawah ini: